Esai

Oleh oleh Haji

Chotim Wibowo. (Poto:doc)

KETIKA roda pesawat menapak Bandara Soekarno-Hatta, perasaan kita sudah sampai saja. Setelah 40 hari berada di tanah suci, kini saatnya pulang ke rumah. Kaki ini kembali lagi menapak tanah.

Pengeras suara di dalam pesawat Saudi Airlines beberapa kali mengingatkan agar tidak berdesakan saat keluar pesawat. Sementara petugas sudah siap sedia mengarahkan ke mana jamaah akan melangkah keluar bandara.

Scroll Ke Bawah Untuk Melanjutkan
Advertisement

Saya mengambil nafas panjang saat keluar pintu pesawat. Mengeluarkannya dengan sedikit menghentak sebagai wujud lahiriah akan kelegaan. Merasakan udara Jakarta yang sudah lebih dari sebulan kami tinggalkan.

Menurun tangga pesawat, dan beberapa rekan meminta mengambil foto yang terakhir dengan latar belakang pesawat yang habis kami tumpang. Kami juga berpelukan, sebagai wujud terima kasih selama sebulan telah bersama.

“Terimakasih. Semoga kita bisa menjaga haji ini agar mabrur sepanjang hayat,” bisik kami.

Setelah selesai, kami pun bergegas meninggalkan bandara. Tas kecil dan paspor tetap kami pegang. Sementara tas besar entah di mana karena diurus petugas untuk langsung dimasukkan di bagasi bis yang akan ke asrama.

Tas besar itu yang sebagian jamaah menjadi andalan sebagai tempat oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Biasanya, ketika berangkat tas itu masing langsing. Tetapi ketika pulang berubah menjadi gemuk. Banyak oleh-oleh di sana.

Sebagian jamaah bahkan ada yang terpaksa memanfaatkan jasa cargo saat di Tanah Suci untuk membawa pulang lebih dulu oleh-oleh. Ya pasti karena jatah bagasi sudah tak mencukupi. Oleh-oleh yang dipaketkan dari tanah suci biasanya jenis karpet, atau kaligrafi atau juga zam-zam. Tentu dengan biaya sendiri.

Kami sendiri tidak memanfaatkan jasa kargo yang lain. Cukup tas itu saja sudah lebih dari cukup menampung oleh-oleh. Ya apalagi saya memang tidak hobi belanja (untuk tidak mengatakan tidak ada sangu. hehe).

Kebetulan juga, ada saudara dari istri yang saat itu berkerja di maskapai penerbangan. Dia yang menawarkan dan membawakan melalui kargo dua derigen besar air zam-zam untuk oleh-oleh. Ya Allah.

Oleh-oleh kami beli hanya boneka onta. Anak-anak yang saat saya tinggal masih sangat kecil, sehingga boneka onta yang bisa bernyanyi dirasakan cukup. Untuk temen-teman kami hanya membelikan minyak wangi. Tak mahal, tetapi nilai lebihnya ini belinya di depan masjidil haram. Ini ngeles lagi karena memang sangu yang cukup.

Yang lebih berkesan adalah kami bisa membeli cincin kecil emas untuk istri. Bukan sembarangan cincin karena dibeli di depan masjid Nabawi. Cincin yang semoga bisa membawa kami rindu untuk bisa kembali ke masjid Nabawi.

Roda bis DAMRI yang kami tumpangi pun mulai berputar. Meninggalkan Bandara dan menuju Asrama Haji Bekasi. Tak ada penyambutan di sana. Kecuali deretan kendaraan yang sepertinya ihlas mengalah saat rombongan bis kami melintas.

Entah apa yang dipikirkan mereka. Tetapi, kami merasakan keinginan yang sama agar bisa diberi kesempatan seperti kami bisa berhaji. Diantara kendaraan yang macet ada beberapa orang yang melambaikan tangan.

Penyambutan keluarga baru terasa saat rombongan bisa kami memasuki asrama haji di Bekasi. Mata saya menyapu mencari adik yang katanya akan menjemput. Dan, masya Allah, mata ini langsung berkaca saat di kejauhan melihat adik dan anak-anak bersama saudara dan tetangga.

Bagaimana tidak, selama 40 hari adik kami yang ‘berjibaku’ merawat tiga anak saya yang masih kecil. Luar biasa pengorbanan mereka untuk ibadah kami ini. Ucapan terima kasih pasti tidak akan cukup.

Kami langsung menemuinya. Yang kemudian berangkulan sambil membisikkan terima kasih tak terhingga. Wajah-wajah penjemput kami ini sudah tampak dalam doa kami saat di tanah suci. Dan memang kami sudah memanggilnya saat di tanah suci.

Sedikit hal yang mengharukan saat anak terkecil yang tak mau lepas dengan adik saya. Dia seakan mulai tak kenal dengan ayah ibunya. Menangis. Bahkan saat ibunya menawarkan ASI yang memang ‘terputus’ ketika kami berhaji. Anak ini saat ditinggal memang lagi semangat minum ASI ibunya.

Ya Allah. Nikmat nian ibadah haji ini. Tapi tentu tak ada senikmat ini jika tanpa dibantu mereka. Karenanya ya Allah…balaskan budi baik mereka, dan ganti kesempatan untuk bisa berhaji juga.

Penulis : Chotim Wibowo (IPHI Kota Bekasi)

Esai

‘Ya Allah, ini putaran terakhir kami. maka ampunilah kami, ampunilah jika selama kami menjadi tamu di sini tak bisa menjadi tamu yang baik. Ampunilah kami, dan terimalah haji kami, dan jadikan haji kami haji yang mabrur.’

Esai

“Sampaikan rindu saya, jika diantara kalian, ada yang pernah menjadi mulia karena menjadi tapakan Rasulullah. Sampaikan rindu kami,” bisik saya.

Exit mobile version