Esai

Semangat Bertawaf Bapak Difabel

SAYA mengawali tawaf dengan bersemangat. Setelah mengambil miqod umroh di Tanim, kemudian langsung mengambil tawaf.

Awal masuk masjid jamaah sudah sangat padat. Tapi ini biasa, apalagi saat musim haji seperti ini. Jamaah penuh nuh.

Scroll Ke Bawah Untuk Melanjutkan
Advertisement

Mengambil dari garis lampu biru dengan penuh semangat. Meski jujur tak sepenuhnya tenaga bisa terjaga. Rasa lelah selalu dicoba dilupakan. Sakit kaki akibat pecah karena terlalu sering berjalan tak dirasakan.

Sekali dua putaran kami menjumpai satu jamaah. Pakaian lusuh dan keringat bercucuran. Sedangkan tongkat menjadi tumpuan utama badan. Ya, dia disabilitas. Kakinya cacat. Mungkin berasal dari Arab Baduy.

Ketika kami melaluinya, kami mengucapkan salam. Dia langsung menjawab salam kami. Sambil terus berjalan dengan tongkatnya.

Semangat kami langsung muncul. Bagaimana tidak, ketika seorang cacat kaki saja dengan penuh semangat melakukan tawaf. Tak ada mengeluh. Meski raut wajahnya tampak lelah dan peluh bercucuran.

“Saya harusnya lebih bersemangat. Saya normal. Dan jangan sampai sekali pun mengeluh lelah atau capek. Jangan,” batin saya.

Sesaknya jamaah menjadikan pilihan kami lebih berada di luar area desakan. Agar lebih fresh dan kuat untuk bertawaf.

Eh..ternyata putaran selanjutnya saya kembali mendahuluinya. Beliau tampak lebih lamban. Dan saya lebih cepat. Tatapan kami kembali menyampaikan pesan; hebatnya dia.”

Selesai tujuh putaran, kami menutup tawaf dengan shalat di Mawam Ibrahim. Minum zam-zam dan mengambil nafas untuk lebih rileks. Sambil kami persiapan menuntaskan akan bersai ke Shafa dan Marwa.

Di ujung Bukit Shafa kami mengawali Sai. Melambaikan tangan ke Baitullah dengan mengucapkan ‘Bismillahi Allahu Akbar”

Kami berlari kecil, dengan membaca doa yang sengaja memang saya hafalkan. Semangat. Jangan lagi pikirkan lelah. Ini haji adalah ibadah fisik. Maka, pergilah haji selagi muda.

Alhamdulillah. Mendekati putaran terakhir, ya Allah, kami melihat bapak itu lagi. Beliau ada di area Sai di ruas dalam. Tatapan kami beradu. Secepat itu saya kemudian mengambil beberapa real untuk saya serahkan sebagai hadiah nanti ketika saya mendahuluinya. Beliau sudah menyemangati saya.

Dan benar, ketika saya mendahuluinya lagi di dekat Marwa, saya langsung mendekat dan menyalaminya. Beliau tampak kaget. Tapi hanya sejenak lalu mengucapkan doa. Barokallah.

Saya berjalan lebih cepat. Begitu memutar Marwa, saya pun tergerak untuk melihatnya lagi.

Tapi, ya Allah. Sejauh mata saya mencari beliau, kami tak menemukannya. Seharusnya, beliau masih ada di area di sana. Tetapi ternyata tidak ada.

Hingga kami pun tertunduk. Kami hanya bisa beristighfar. Diam sejenak. Dengan doa agar beliau selalu diberi kesehatan dan semangatnya. Ya Allah.

Sampai sekarang saya masih kepikiran kejadian itu.

Bekasi, 10 Juni 2025

Penulis : Chotim Wibowo (IPHI Kota Bekasi)

Esai

‘Ya Allah, ini putaran terakhir kami. maka ampunilah kami, ampunilah jika selama kami menjadi tamu di sini tak bisa menjadi tamu yang baik. Ampunilah kami, dan terimalah haji kami, dan jadikan haji kami haji yang mabrur.’

Esai

“Sampaikan rindu saya, jika diantara kalian, ada yang pernah menjadi mulia karena menjadi tapakan Rasulullah. Sampaikan rindu kami,” bisik saya.

Esai

“Ah, enak sekali. Suasana haji ini demikian merindukan. Doa kami, semoga kami bisa kembali lagi ke sini”.

Exit mobile version