Esai

Saat Kali Pertama Melihat Ka’bah

Chotim Wibowo (IPHI Kota Bekasi)

ANTARA Misfalah dan Masjidilharam berjarak sekitar 7 kilometer. Jika ditempuh berjalan kaki bisa sekitar 40 menit. Dan ini yang saya alami saat haji tahun 2006 itu.

Maktab 44 di kawasan Misfalah menjadi penginapan pertama saya di tanah suci. Hotelnya mungkin tidak setenar hotel berbintang. Tetapi yakinlah, hotel itu menjadi saksi pertama kami bisa sampai ke tanah suci.

Scroll Ke Bawah Untuk Melanjutkan
Advertisement

Sampai di hotel siang, yang kemudian kami disambut petugas hotel. Asli, mereka sangat ramah. Memberikan ungkapan selamat datang, sambil membawa tasbih dan sajadah sebagai hadiah selamat datang.

Setelah sejenak merapikan kamar dan tas, kami sudah tak sabar segera bisa ke masjid (Masjidlhara). Teman satu kamar sudah beberapa kali mengajak agar lebih cepat.

Jadilah kami dalam satu regu berangkat ke masjid. Karena saya mengambil ifrad, maka saya sudah mengenakan ihram. Beberapa kawan dan pembimbing juga sudah mengambil ifrad karena jarak dengan wukuf sudah dekat.

Sekeluar maktab kami langsung memilih Alhijra Street. Kami berjalan mantab. Membawa kerinduan bisa melihat ka’bah untuk pertama kalinya. Wah?

Ya benar. Kami belum pernah ke tanah suci. Dan sekalinya ke tanah suci, kami diberi kesempatan bisa berhaji. Jadilah saat ini menjadi momen untuk pertama kali melihat kabah.

Galau? Tentu saja. Karena siapa pun umat Islam akan galau jika akan melihat kabah. Meski dengan tingkat kegalauan yang berbeda. Entah galau atau apa namanya, yang jelas akan bergetar hatinya.

Saya sudah merindukan kabah sejak lama. Dan selama ini, kabah sebagai arah kiblat umat Islam, kami hanya bisa melihatnya di sajadah. Sejak awal melaksanakan shalat, selalu menghadap ke kabah. Dan beberapa saat lagi kami akan menyaksikan langsung.

Ketika sudah dekat masjid, jalan Alhijra ini seperti menembus bangunan tinggi. Berada antara bangunan tinggi mencakar langit.

Kami tak berhentinya berdoa. Atau membaca shalawat. Untuk menghilangkan kegalauan tersebut.

Begitu sudah diujung jalan: “deg.: Hati kami kian berdegup, Tapi, mulut malah tercekat. Itu ketika kami melihat menara masjidil haram.

“Menara yang biasa kami lihat di sajadah. Ya Allah, inikah menara masjid yang luar biasa megah itu?. Setidaknya ini menandaskan kemegahan bangunan. Bangunan yang dirindukan semua umat Islam.”

Kami terus berjalan. Sementara ustadz pembimbing sudah di depan. Sambil terus mengucapkan doa-doa. Saya lebih memilih mengaminkan. Dan membiarkan bayangan berkelana mereview ingatan tentang masjidil haram.

Jalan makin cepat saat kami memilih masuk melalui pintu 89. Berjalan menyusur lorong bersama jamaah lain yang juga mengenakan ihram.

Jujur, awalnya kami tak mampu untuk mendongak. Atau sekedar meluruskan wajah untuk menatap kabah. Saya lebih memilih menunduk. Menyaksikan kaki jamaah yang kian berdesakan.

Deg! Tatapan mata mendadak terkunci. Saat kami meluruskan pandangan dan ternyata di sana ada Ka’bah. Seakan tak berkedip, saya melantukan doa dan syukur. Dan tak terasa air mata mengembang di sudut mata.

Allahu ya Allah… apa ini nyata saya bisa ada di sini sekarang? Bisa menyaksikan langsung ka’bah? Sempat sesekali mengusap mata, sambil menghapus air mata dan sekali lagi meyakinkan bahwa ini bukan mimpi.

Labbaik allahumma labbaik… ya Allah kami datang.

Kami jadi menjadi seperi umat yang kecil. Ketika melihat ada ribuan bahkan jutaan orang melakukan tawaf. Banyak diantaranya yang menangis.

Kami jadi berfikir, ini tidak mungkin jika tanpa peran serta Allah. Mustahil kalau hanya bangunan tetapi bisa membuat jutaan orang datang dan menangis di sini. Pasti ada kekuasaan Allah di sana.

Terima kasih ya Allah. Semoga kenikmatan bisa menyaksikan kabah ini bisa nular ke sahabat, saudara dan kerabat yang membaca tulisan ini. Dan semoga segera diberi kesempatan bisa ke tanah suci dan menyaksikan megahnya bangunan ka’bah.

 

Bekasi, 19 Mei 2025

Penulis : Chotim Wibowo (IPHI Kota Bekasi)

 

Esai

‘Ya Allah, ini putaran terakhir kami. maka ampunilah kami, ampunilah jika selama kami menjadi tamu di sini tak bisa menjadi tamu yang baik. Ampunilah kami, dan terimalah haji kami, dan jadikan haji kami haji yang mabrur.’

Esai

“Sampaikan rindu saya, jika diantara kalian, ada yang pernah menjadi mulia karena menjadi tapakan Rasulullah. Sampaikan rindu kami,” bisik saya.

Exit mobile version