Upaya Pemerintah untuk menghapus pasal soal perkosaan dari Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), membuat banyak pihak meradang.
Niat ini disampaikan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej) saat rapat bersama DPR, 31 Maret pekan lalu. Alasanya, tindak pidana pemerkosaan sudah diatur rinci dalam RUU KUHP, jadi tidak perlu diatur di RUU TPKS.
Lalu, sebab apa niatan ini menuai banyak kritik? Jawabnya karena publik tahu bahwa KUHP mengatur secara materiil semua hukum pidana sedangkan RUU TPKS bakal mengatur sangat detail soal kekerasan seksual. Jadi, pasal soal pemerkosaan dan pemaksaan aborsi juga tidak perlu dihapus dari RUU TPKS.
Mestinya, pihak pemerintah tidak usah risau akan potensi terjadinya bentrokan antara pasal perkosaan di RUU TPKS dengan di RKUHP, karena dalam pola penyusunan peraturan perundang-undangan, ada proses yang namanya harmonisasi dan sinkronisasi oleh Kemenkumham.
Proses sinkronisasi ada juga di DPR yang bisa memanage kemungkinan terjaidnya bentrokan pasal-pasal perkosaan di RUU TPKS vs RKUHP. Artinya, pembuat undang-undang tidak perlu menunggu RKUHP, karena RUU TPKS perlu segera disahkan sesuai harapan publik. DPR menargetkan RUU TPKS disahkan pada rapat paripurna pada 14 April 2022 mendatang. Jadi tak perlu tangga-tunggu.
Sebab, menunggu RKUHP sama artinya menciptakan ketidakjelasan, karena bahkan sampai saat ini prosesnya belum dimulai, padahal RUU itu sangat tebal. Sebab itu, lebih baik jika pasal perkosaan dan aborsi dimasukkan dalam RUU TPKS.
Masyarakat mesti punya kepedulian tinggi tentang hal ini, karena fakta dan data menunjukkan bahwa Indonesia masuk salah satu negara dalam keadaan darurat tindak pidana perkosaan dan aborsi.
Terjadinya tindak pidana perkosaan di tengah masyarakat mengidentifikasikan, bahwa korban demi korban terus berjatuhan dengan kerugian dan penderitaan yang sangat besar, maka bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perkosaan perlu dipertajam.
Dari seluruh tindak perkosaan, justru tidak didominasi dengan tindak kekerasan. Banyak kasus terjadi karena lingkungan seseorang tinggal, beradaptasi bahkan berkembang. Perkembangan seseorang menunjukkan kualitas atas dirinya, hal yang sangat mempengaruhi ialah moralitas seseorang.
Maka, pembentukan UU TPKS, sebagaimana pembentukan UU lainnya, perlu sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Tujuan RUU TPKS sudah jelas, yakni melindungi masyarakat dari kekerasan seksual. Ini sangat penting. Jangan diulur-ulur dengan dalih apapun.
Bila pidana perkosaan diatur dalam RKUHP, kita risau dengan aspek kesatuan pengaturan soal kekerasan seksual, termasuk soal ketidakpastian kapan RKUHP akan diundangkan. Padahal negara ini sudah jelas-jelas dalam keadaan darurat kekerasan seksual.
Intinya, kita tidak sependapat dengan pemerintah yang ingin mengalihkan pasal pidana perkosaan ke RKUHP. Soalnya, KUHP belum mampu sepenuhnya menjangkau perempuan dan anak perempuan korban perkosaan karena hanya terbatas pada kekerasan dan ancaman kekerasan seperti tercantum dalam Pasal 284 KUHP dan Pasal 479 RKUHP.
Realitasnya, perkosaan juga dapat dilakukan dengan cara tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau cara-cara lain di luar penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan.
KUHP dan RKUHP juga tidak mengatur perkosaan dalam konteks victim precipitation, yakni tindakan korban yang diasumsikan pelaku bahwa korban setuju. Padahal, korban mungkin tidak setuju, atau setuju berhubungan intim namun tidak mau berhubungan seksual, atau awalnya setuju namun kemudian ingin menghentikan tindakan seksual itu.
Victim precipitation banyak terjadi pada kasus perkosaan dalam pacaran dan konteks perempuan yang dilacurkan alias dipaksa berhubungan tanpa pengaman (sebut: pakai kondom), misalnya.
Sekedar pengingat, ada berbagai macam sebab yang timbul yang dapat mempengaruhi terjadinya tindak pidana perkosaan, diantaranya faktor lingkungan, faktor kebudayaan, faktor ekonomi, faktor teknologi, faktor media, faktor kejiwaan atau psikologi, faktor minuman keras, dan sebagainya.
Oleh : Imam Trikarsohadi (Pemimpin Redaksi)