SAYA menunduk, menapakkan tangan ke pasir Arafah, dan kemudian menggenggamnya. Saya bisikkan, “wahai pasir, saat ini saya di sini, maka sampaikan saksimu jika saya sudah datang di sini memenuhi panggilan Allah.”
“Sampaikan rindu saya, jika diantara kalian, ada yang pernah menjadi mulia karena menjadi tapakan Rasulullah. Sampaikan rindu kami,” bisik saya.
Suasana saat puncak haji memang luar biasa syahdu. Jutaan manusia memutih menutup setiap jengkal ruang di Arafah. Mereka memuji Allah, dan menyampaikan harapan akan ampunan Nya.
“Ya Allah, ampuni kami. Dan kabulkan hajat semua doa saudara kerabat yang dititipkan ke kami,” kata saya.
Saya menyempatkan menepi. Di belakang tenda saya sengaja mencari ruang untuk bisa shalat. Kali ini saya memilih agar benar-benar menjadi jarak terdekat dengan langit. Alas shalat saya lipat, dan memilih langsung beralaskan pasir Arafah. Kening sujud ingin langsung menyentuh pasir.
Ini pasir Arafah. Saya yakin bukan tanpa alasan jika pasir itu ada di sini. Pasir yang banyak dirindukan jamaah. Pasir yang menjadi warna kering namun syahdu.
Ketika masuk waktu dhuhur, kami bergegas ke area Arafah terdepan. Kelompok haji per blok sudah disetting diadakan khutbah Arafah. Dengan bahasa Indonesia tentunya.
Di seberang sana, jutaan umat juga melakukan hal sama. Wuquf, yang berarti diam di Arafah. Maka, jumlah jutaan manusia dengan pakaian ihram ini menjadikan pemandangan yang luar biasa.
Semua tangan menengadah, semua wajah menunduk. Semua mata menangis. Atau sembab. Memohon ampunan atas dosa. Saat inilah, tak ada doa yang ditolak.
Ya Allah… suasana yang merindukan. Semoga saya bisa mengulangi ke sana lagi. Semoga kami bisa diberi kesempatan wuquf di Arafah.
_(semoga para jamaah haji tahun ini diberi kesehatan dan kemebruran saat menghadapi puncak haji wukuf di Arafah 1446 H)_
Bekasi, 04 Juni 2025
Chotim Wibowo (IPHI Kota Bekasi)