Jika Anda sejak bangun tidur hingga menjelang tidur tak lepas menggenggam HP, sedang berkumpul dengan banyak orang tapi tidak berkomunikasi sama sekali — dan malah asyik sendiri dengan HP–sedang rapat, makan, malah sedang di tempat ibadah asyik ber- HP ria, maka waspadalah, Anda mulai terjangkit Sindrom FoMO (Fear of Missing Out). Selangkah dari itu, Anda bisa jadi menangis, tertawa dan ngobrol dengan HP, dan jika ini terjadi, berarti alamat gejala gangguan jiwa alis “nggulati gendeng”.
Apa boleh buat, terjadinya revolusi teknologi komunikasi telah memberi kemudahan kepada individu untuk mengaksesnya lewat HP / gadget ; elektronik kecil yang memiliki fungsi khusus seperti berbagi informasi, berita terviral, berkomunikasi, berjualan, dan lainnya.
Gadget menjelma menjadi alat komunikasi yang mudah, cepat, efisien, dan praktis dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan bahkan semakin aktivitas penggunaan gadget menjadi semakin menarik karena dilengkapi berbagai fitur-fitur yang menarik dan memudahkan terhubung dengan orang lain di setiap waktu dan tempat seperti fitur yang ada pada Instagram, Twitter, Facebook, Whatsapp, LINE, Telegram, TikTok, hingga game online.
Bayangkan, laporan Statista (2020) mencatat, pengguna media sosial di Indonesia pada 2020 paling banyak yakni berusia 25-34 tahun. Rinciannya, pengguna laki-laki dan perempuan masing-masing sebanyak 20,6% dan 14,8%. Posisi selanjutnya yakni pengguna berusia 18-24 tahun. Rinciannya, pengguna laki-laki dan perempuan masing-masing sebanyak 16,1% dan 14,2%. Jumlah pengguna media sosial di Indonesia paling sedikit yakni berusia 55-64 tahun. Kemudian usia 65 tahun ke atas. Bahkan penggunaan ini semakin meningkat dikala wabah Pandemi Covid-19.
Kondisi selama pandemic Covid-19 pun mengharuskan para peajar hingga mahasiswa belajar dengan menggunakan media sosial, sebab itu keterikatan dengan gadget mereka rentan mengalami ganguan yang dinamakan sindrom FoMO (Fear of Missing Out) hingga adiksi gadget yang lebih kronis.
Menurut para ahli, Sindrom FoMO (Fear of Missing Out) adalah sebuah pemahaman, atau persepsi akan perasaan bahwa orang lain memiliki pengalaman berharga atau lebih baik dibanding diri sendiri Fear of missing out ditandai dengan adanya keinginan untuk terus berhubungan secara terus menerus dengan apa yang dilakukan oleh orang lain di dunia maya. Bahkan, pada kasus-kasus tertentu, seseorang bisa sangat takut dan cemas bila tidak terhubung dengan akunnya walau hanya beberapa menit, dan dianggap tidak keren jika tidak mengikuti perkembangan influencer terviral atau terkini.
FoMO terbentuk karena rendahnya kebutuhan dasar psikologis dalam penggunaan media seperti media sosial. Kebutuhan dasar psikologis yang tidak terpenuhi ini, dapat mereka penuhi melalui penggunaan media sosial.
Kebutuhan dasar psikologis yang dapat dipenuhi selama penggunaan gadget yang menyebabkan terjadinya fear of missing out, diantaranya adalah kebutuhan untuk berkompetensi (need for competence). Kompetensi merupakan hasil dari interaksi individu dengan lingkungan dan adaptasi. Kebutuhan kompetensi mengacu pada kebutuhan untuk berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial, mampu menunjukan kapasitas diri, dan mencari tantangan yang optimal Kebutuhan ini berkaitan dengan keyakinan individu untuk melakukan tindakan atau perilaku tertentu secara efisien dan efektif. Rendahnya kepuasan terhadap kompetensi ini akan memungkinkan individu merasa frustasi dan putus asa.
Kebutuhan lainya berupa need for autonomy/ self—yang merupakan kesadaran individu akan keberadaan dan fungsi dirinya, yang diperoleh melalui pengalaman diri dimana individu tersebut terlibat di dalamnya, baik sebagai subjek maupun objek.
Kebutuhan psikologis akan self penting untuk kompetensi, keterkaitan, dan otonomi, serta penurunan tingkat suasana hati yang positif dan kepuasan hidup secara signifikan terkait dengan tingkat FoMO yang lebih tinggi. Apabila kebutuhan psikologis akan self tidak terpenuhi, maka individu akan menyalurkannya melalui media sosial untuk memperoleh berbagai macam informasi dan berhubungan dengan orang lain. Hal tersebut akan menyebabkan individu terus berusaha untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi pada orang lain melalui media sosial.
Intensitas penggunaan gadget juga dipantik oleh kebutuhan untuk merasa dekat dengan orang lain (Need for Relatedness)—berupa kedekatan atau keinginan untuk berhubungan dengan orang lain, kebutuhan seseorang untuk merasakan perasaan tergabung di dalam kelompok, terhubung, dan kebersamaan dengan orang lain.
baca juga : https://bekasiguide.com/2022/04/08/makhluk-tri-tunggal/
Kondisi seperti pertalian yang kuat, hangat dan peduli dapat memuaskan kebutuhan untuk pertalian, sehingga individu merasa ingin memiliki kesempatan lebih dalam berinteraksi dengan orang-orang yang dianggap penting dan terus mengembangkan kompetensi sosialnya. Apabila kebutuhan psikologis akan relatedness tidak terpenuhi dapat menyebabkan individu merasa cemas dan mencoba mencari tahu pengalaman dan apa yang dilakukan oleh orang lain, salah satunya melalui media sosial.
Ringkasnya, penggunaan gadget yang tak terkendali akan memicu sindrom FoMO, dan itu sangat berbahaya karena dapat menganggu keterampilan sosial individu dimana pengguna lebih suka berelasi di dunia maya, sehingga menyebabkan kecanggungan sosial saat harus berinteraksi di dunia nyata.
Sindrom itu juga bisa menyebabkan gangguan emosi merasa harus menggunakan media sosial terus menerus, jika terhenti penggunaan media sosil akan merasa cemas atau marah, juga dapat meningkatkan rasa tidak bahagia dan ketidakpuasan dalam hidup, runtuhnya konsentrasi dan minat untuk belajar menurun, serta bisa jadi terpicu mengembangkan persepsi bullying di media sosial.
Cara itu guna mencegah sindrom FoMo adalah dengan mempererat silaturahim dengan keluarga, teman, sahabat dan handai taulan selama bulan Ramadhan dan setelahnya.
“Gendeng rausah digoléki .”
Oleh : Imam Trikarsohadi (Pemimpin Redaksi).