Duh…. Siapa pun pernah merasakan sesuatu yang tak diduga untuk sesegera mungkin dilakukan, baik disadari atau tanpa disadari. Itulah yang sering disebut kebelet.
Kebelet lebih banyak berkonotasi perbuatan yang kurang etis atau lebih banyak negatif serta mudorot. Bisa dibilang memalukan. Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia. Kebelet bermakna “ingin sekali; tidak tertahankan lagi untuk melaksanakan keinginan”.
Waktu kecil, kita sering lihat seorang anak tiba-tiba merebut makanan yang belum siap matang. Si anak langsung ambil makanan, terus memasukan ke mulutnya. Si ibu sering menyebut “nih anak lapar, sudah kebelet makan”.
Begitu pula saat kita sedang duduk di sekolah, baik SD atau SMP. Sering tiba-tiba anak lari tunggang langgang dari tempat duduknya, tak peduli sang guru lagi menerangkan pelajaran. Ia lari langsung ke toilet, untuk sesegera mungkin ke toilet. Plung…. begitu keluar, plong rasanya. Bahkan kadang ada anak yang tak bisa menahannya, langsung keluar di celananya. Nah lo, kebelet banget.
Kebelet, hampir semua bermakna negatif. Apalagi kalau kebelet itu dalam dunia politik. Selain negatif juga sangat berbahaya jika dijalankan oleh orang-orang yang ambisius.
Belum ditetapkan sebagai RT, kepala desa hingga wali kota. Maka, ia akan menjalankan pemerintahan dengan cara-cara kurang arif dan lebih menunjukan ego dirinya. Bahwa dirinyalah yang berkuasa, sehingga apa pun yang dijalankannya lebih banyak menuai kontroversi dan merugikan banyak pihak.
Karena merasa dirinya berkuasa padahal ketetapan belum diputuskan pihak terkait. “Wah, kebelet berkuasa coy,” ujar si Yudi, Anak Rimba.
Bahayanya lagi, jika orang-orang sekelilingnya adalah para penjilat dan orang yang tidak punya muka atau si pencari muka. Dia akan memberi saran atau masukan yang lebih menguntungkan eksistensi ego sang penguasa kebelet, pencitraan yang kadang berbuntut merugikan sang penguasa kebelet. Bahkan menjadi orang makin muak dan tidak menyukainya.
Bukan karena kebelet dan ingin segera menunjukkan “siapa dirinya” akhirnya menutup diri atau hanya meminta pendapat atau saran dengan orang-orang selama ini di sekelilingnya yang kadang pengetahuannya kurang luwes dan hanya menyenangkan sang penguasa kebelet. Sehinga keputusan dan apa pun yang dikeluarkannya menjadi kontroversi apalagi menimbulkan masalah yang kadang tanpa disadari merusak citranya.
Jadi, semestinya seorang politisi atau pejabat itu makin waspada dan banyak berkomunikasi atau membuka ruang berdiskusi, meminta pendapat yang benar-benar dituakan/berpengalaman atau memiliki ilmu dan kebajikan. Sehingga keputusan atau kebijakannya lebih arif dan didukung masayarakat.
Jadi sangat berbahaya sikap kebelet pada kekuasaan. Karena akan nampak sifat aslinya dan masyarakat akan semakin membencinya. Tak akan mendukungnya. Mungkin di depan sang penguasa tersenyum, di belakangnya akan mengguncing.
Harusnya penguasa itu mengikuti filosof menaruh keris orang Jawa. Ditaruhnya keris di belakang punggung, selain untuk menghindarkan diri dari rasa sombong, juga menandakan bahwa orang Jawa lebih mengutamakan diplomasi alih-alih kekerasan. Harusnya, kita sebagai orang Jawa memahami Gaman (pusaka). Bagi orang Jawa, keris merupakan benda yang sangat mulia, sehingga mereka berpikir tidak perlu menunjukkannya pada orang lain.
Orang Jawa, sepemahaman saya, jarang sekali yang ingin tampak gagah dan ditakuti karena senjatanya. Tapi jika ada orang Jawa yang seperti itu, dapat dipastikan bahwa orang tersebut belum memahami nilai-nilai Jawa, atau barangkali sudah meninggalkan nilai-nilai tersebut.
Keris ditaruh di belakang punggung pun bermakna, agar senjata tersebut tidak terlihat oleh lawan bicara. Tentu saja dengan menunjukkan senjata di depan orang lain, sama saja melakukan tindakan intimidatif dan dianggap sebagai mengurangi rasa hormat terhadap lawan bicara tersebut.
Ah, sudahlah. Aku takut kebelet. Mau segera ngising. Semoga para penguasa, politisi tidak kebelet. Sing sabar dan bermanfaat untuk rakyatnya. Ploong.
Oleh: Aef Elfath (Penulis)