Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Esai

Kebelet

×

Kebelet

Sebarkan artikel ini

Duh…. Siapa pun pernah merasakan sesuatu yang tak diduga untuk sesegera mungkin dilakukan, baik disadari atau tanpa disadari. Itulah yang sering disebut kebelet.

Kebelet lebih banyak berkonotasi perbuatan yang kurang etis atau lebih banyak negatif serta mudorot. Bisa dibilang memalukan. Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia. Kebelet bermakna “ingin sekali; tidak tertahankan lagi untuk melaksanakan keinginan”.

Scroll Ke Bawah Untuk Melanjutkan
Advertisement

Waktu kecil, kita sering lihat seorang anak tiba-tiba merebut makanan yang belum siap matang. Si anak langsung ambil makanan, terus memasukan ke mulutnya. Si ibu sering menyebut “nih anak lapar, sudah kebelet makan”.

Begitu pula saat kita sedang duduk di sekolah, baik SD atau SMP. Sering tiba-tiba anak lari tunggang langgang dari tempat duduknya, tak peduli sang guru lagi menerangkan pelajaran. Ia lari langsung ke toilet, untuk sesegera mungkin ke toilet. Plung…. begitu keluar, plong rasanya. Bahkan kadang ada anak yang tak bisa menahannya, langsung keluar di celananya. Nah lo, kebelet banget.

Kebelet, hampir semua bermakna negatif. Apalagi kalau kebelet itu dalam dunia politik. Selain negatif juga sangat berbahaya jika dijalankan oleh orang-orang yang ambisius.

Belum ditetapkan sebagai RT, kepala desa hingga wali kota. Maka, ia akan menjalankan pemerintahan dengan cara-cara kurang arif dan lebih menunjukan ego dirinya. Bahwa dirinyalah yang berkuasa, sehingga apa pun yang dijalankannya lebih banyak menuai kontroversi dan merugikan banyak pihak.

Karena merasa dirinya berkuasa padahal ketetapan belum diputuskan pihak terkait. “Wah, kebelet berkuasa coy,” ujar si Yudi, Anak Rimba.

Bahayanya lagi, jika orang-orang sekelilingnya adalah para penjilat dan orang yang tidak punya muka atau si pencari muka. Dia akan memberi saran atau masukan yang lebih menguntungkan eksistensi ego sang penguasa kebelet, pencitraan yang kadang berbuntut merugikan sang penguasa kebelet. Bahkan menjadi orang makin muak dan tidak menyukainya.

Bukan karena kebelet dan ingin segera menunjukkan “siapa dirinya” akhirnya menutup diri atau hanya meminta pendapat atau saran dengan orang-orang selama ini di sekelilingnya yang kadang pengetahuannya kurang luwes dan hanya menyenangkan sang penguasa kebelet. Sehinga keputusan dan apa pun yang dikeluarkannya menjadi kontroversi apalagi menimbulkan masalah yang kadang tanpa disadari merusak citranya.

Jadi, semestinya seorang politisi atau pejabat itu makin waspada dan banyak berkomunikasi atau membuka ruang berdiskusi, meminta pendapat yang benar-benar dituakan/berpengalaman atau memiliki ilmu dan kebajikan. Sehingga keputusan atau kebijakannya lebih arif dan didukung masayarakat.

Jadi sangat berbahaya sikap kebelet pada kekuasaan. Karena akan nampak sifat aslinya dan masyarakat akan semakin membencinya. Tak akan mendukungnya. Mungkin di depan sang penguasa tersenyum, di belakangnya akan mengguncing.

Harusnya penguasa itu mengikuti filosof menaruh keris orang Jawa. Ditaruhnya keris di belakang punggung, selain untuk menghindarkan diri dari rasa sombong, juga menandakan bahwa orang Jawa lebih mengutamakan diplomasi alih-alih kekerasan. Harusnya, kita sebagai orang Jawa memahami Gaman (pusaka). Bagi orang Jawa, keris merupakan benda yang sangat mulia, sehingga mereka berpikir tidak perlu menunjukkannya pada orang lain.

Orang Jawa, sepemahaman saya, jarang sekali yang ingin tampak gagah dan ditakuti karena senjatanya. Tapi jika ada orang Jawa yang seperti itu, dapat dipastikan bahwa orang tersebut belum memahami nilai-nilai Jawa, atau barangkali sudah meninggalkan nilai-nilai tersebut.

Keris ditaruh di belakang punggung pun bermakna, agar senjata tersebut tidak terlihat oleh lawan bicara. Tentu saja dengan menunjukkan senjata di depan orang lain, sama saja melakukan tindakan intimidatif dan dianggap sebagai mengurangi rasa hormat terhadap lawan bicara tersebut.

Ah, sudahlah. Aku takut kebelet. Mau segera ngising. Semoga para penguasa, politisi tidak kebelet. Sing sabar dan bermanfaat untuk rakyatnya. Ploong.

Oleh: Aef Elfath (Penulis)

Example 120x600
Esai

Jenis pemilih kedua adalah pemilih tradisional. Pemilih tipe ini memiliki orientasi yang cukup tinggi dari segi ideologi terhadap parpol pengusung dan. Atau paslon kandidat. 

Esai

Etikabilitas yang dimaksud adalah sebuah konsep kepatuhan seseorang atas nilai-nilai etis yang tercermin dalam segenap perilaku yang dilakukan. Sebab itu agar tidak salah pilih, maka etikabilitas tetap perlu mendapatkan tempat ketika memilih kepala daerah.

Esai

Untuk itu, Kota Bekasi perlu para pemilih yang cerdas yang anti money politic, tidak asal pilih, dan menjadikan visi, misi dan platform paslon sebagai pertimbangan utama, serta pemilih yang belajar dari pengalaman empiris perihal banyaknya pejabat Kota Bekasi yang tersandung kasus pidana korupsi oleh sebab pucuk pimpinan yang koruptif.

Esai

Setelah dilakukan penelusuran literasi, ternyata Paslon Bang Heri dan Bang Sholihin ini terbilang membumi dalam mengamati persoalan warga Kota Bekasi, karena sesuai data Pengadilan Negeri Agama Kota Bekasi, angka perceraian untuk Kota Bekasi sepanjang 2022 sejumlah 4.887 kasus. Terdiri atas cerai talak (oleh suami) sejumlah 1.305, cerai gugat (oleh istri) sejumlah 3.582 perkara.

Esai

Jadi, polarisasi politik yang terjadi pada pilpres, pileg dan kini pilkada, hanya merupakan ilusi yang berpotensi membawa diskursus demokrasi kita mengarah kepada proses pendangkalan. 

Esai

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum,” demikian bunyi ayat tersebut.