Wanita, merupakan bahan perbincangan yang tidak ada habisnya. Di satu sisi, sering digambarkan sebagai makhluk lemah, tidak berdaya dan mempunyai posisi inferior. Di lain pihak, acapkali memiliki kekuatan untuk menundukkan pria, dan kekuatan tersebut tentu bukan kekuatan fisik.
Bagi orang Indonesia, yang memiliki keanekaragaman budaya, problem kekuatan dan kekuasaan wanita pasti akan dijawab secara berbeda-beda,dan dengan argumentasi yang berbeda, karena setiap budaya menempatkan posisi wanita dalam tataran yang berbeda-beda.
Lalu, dari manakah munculnya kekuatan yang dimiliki oleh seorang wanita ? Aspek inilah yang hingga saat ini masih menjadi bahan perbincangan banyak kalangan. Masyarakat penganut budaya patriarkhi akan mengatakan bahwa sumber kekuatan wanita terletak pada daya seksualitasnya. Hal ini tidak terlepas dari stereotip yang melekat pada diri wanita bahwa satu-satunya hal yang dimiliki adalah tubuhnya.
Pandangan tersebut tentu saja ditolak oleh para feminis, karena wanita pada dasarnya sama dengan pria, sebagai makhluk lengkap dengan aspek kerohanian yang dimiliki, contohnya rasionalitas. Sementara itu yang membedakan antara: pria dan wanita lebih terkait ihwal cara atau metode untuk menyelesaikan permasalahan. Kodrat melekat pada wanita adalah kemampuan untuk mengandung, melahirkan dan menyusui–memiliki kecenderungan untuk lebih menekankan pada aspek caring, seperti perhatian dan kepedulian terhadap orang lain. Hal ini berbeda dengan pria, yang tidak memiliki pengalaman untuk ”mengada” bersama manusia lain seperti mengandung, melahirkan dan menyusui.
Lalu, bagaimanakah positioning wanita dalam budaya Jawa? Jawabnya, sebagai pusat kebudayaan tertua, Jawa bisa disandingkan dengan India dan Cina. Mengingat di masa lampau, banyak sekali orang-orang India dan Cina yang menuntut ilmu di kerajaan-kerajaan besar di pulau Jawa seperti Majapahit. Berkaitan ihwal kekuasaan wanita, sejarah memperlihatkan bahwa sejak masa kerajaan di Jawa, wanita punya kekuatan dan kemampuan besar menjadi pemimpin. Ratu Shima, Raja di KerajaanKaling dan Tribhuwana Tunggadewi – Raja Majapahit adalah dua tokoh yang menorehkan sejarah, sebagai wanita pemimpin yang adil dan bijaksana, sehingga dicintai rakyatnya.
Terlepas dari kedasyatan dua tokoh wanita tersebut, wanita Jawa tentu saja tumbuh dan berkembang dengan keyakinan yang dikembangkan manusia Jawa, dan keyakinan itu adalah memprioritaskan pada kebatinan. Artinya pengembangan kehidupan batin dan diri terdalam manusia. Diri terdalam itulah yang sesungguhnya menyusun mikrokosmos yang paling sejati dari Kehidupan yang meliputi segala-galanya. Kehidupan dan perwujudan kehidupan ada di dalam batin. Alam batin inilah yang merupakan realitas yang paling nyata. Kebenaran dan kebijaksanaan baru akan diperoleh ketika wanita Jawa sudah dapat menguasai alam lahir dan turun ke dalam alam batin dirinya. Prinsip yang harus dipegang teguh oleh wanita Jawa, dan manusia Jawa pada umumnya adalah penekanan prinsip harmoni, keselarasan dan kesimbangan dalam hubungan antara jagad gedhe (makrokosmos, alam semesta sebagai wujud kehidupan yang berpusat pada Tuhan) dan jagad cilik (mikrokosmos sebagai kehidupan itu sendiri).
Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang tampak oleh mata.
Dalam menghadapi kehidupan di dunia ini, baik dan benarnya manusia tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya. Hal ini tampak jelas pada ajaran dalam Serat Wulang Reh bahwa dunia batiniah merupakan pangkal tolak bagi etika dan ajaran moral bagi manusia. Dunia lahiriah dikuasai dengan jalan menguasai dunia batiniah.
Kewajiban manusia seperti tertera dalam Serat Wulang Reh, antara lain :
Ana uga etang etungane kaki, lilima sinembah,dununge sawiji-wiji, sembah lilima punika. Ingkang dhingin rama ibu kaping kalih,marang martuwa lanang wadon, kang kaping tri, ya marang sedulur tuwa. Kaping pate ya marang guru sayekti, sembah kaping lima ya marang Gusti, kang murba, ing pati kalawan urip, miwah sandhang lawan pangan (Ada juga hitung-hitungannya Nak, dengan sembah lima. Adapun maksud satu per satu dari lima sembah itu. Yang pertama bapak dan ibu, yang kedua kepada mertua laki-laki dan perempuan, yang ketiga kepada saudara tua. Yang keempat kepada guru dan yang kelima kepada Tuhan yang mengusai hidup dan mati, serta sandang pangan (rejeki).
Hal senada juga diungkap dalam Serat Wulang Estri bahwa manusia; baik pria maupun wanita wajib bersyukur kepada Tuhan, yang telah menjadikannya sebagai makhluk mulia, bukan binatang.
Badan iki mapan darmi, nglakoni osiking manah, yen ati ilang elinge, elang jenenge manungs, yen manungsane ilang, amung rusak kang tinemu, tanggeh manggiha raharja. (Badan ini tempat melaksanakan apa yang ada di pikiran. Jika hati kehilangan rasa ingat, hilang pula hakikat manusia. Jika hakikat manusia sudah hilang, hanya kerusakan yang dijumpai dan tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Itulah hakikat orang yang jahat batinnya).
Iku wong durjana batin, uripe ora rumangsa, lamun ana nitahake, pagene noram kareksa, ugere wong ngagesang, teka kudu sasar susur, wong lali kaisen setan. (Dalam hidupnya tidak merasa ada yang menciptakan, dan tidak menjaga aturan-aturan hidup sehingga tersesat hidupnya. Orang yang lupa kepada yang menciptakan, hatinya diisi setan).
Ajaran dalam Serta Wulang Estri tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa keyakinan hidup wanita Jawa, dan manusia Jawa pada umumnya–berintikan pada ketajaman perasaan (rasa) yang mengarahkan manusia pada aspek batiniah yang dimiliki. Ajaran dalam Serat Candrarini secara eksplisit mengungkapkan bahwa wanita berbudi luhur adalah wanita yang beriman, tidak pernah putus dalam berdoa agar mendapatkan wahyu dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, nilai seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam menguasai batinnya. Untuk dapat menguasai batin, mencapai puncak penyatuan antara mikro kosmos dan makro kosmos (manunggaling kawula gusti) dilakukan dengan olah rasa yang terwujud dalam kehidupan yang harmonis, tidak ada ketegangan, gangguan batin.
BACA JUGA : https://bekasiguide.com/2022/04/20/patologi-birokrasi/
Untuk itulah wanita Jawa mengatur dan memperhalus segi-sgi kehidupan lahiriah, melakukan pendalaman rasa secara terus menerus. Tingkah laku, bicara dan ucapan yang tampak secara lahiriah adalah pencerminan batin. Berbudi luhur berarti dengan sadar dapat mengendalikan dunia batin atau dapat mengendalikan hawa nafsu. Hal ini ditempuh dengan beberapa cara, misalnya mengurangi makan, tidur, dan melakukan segala macam keprihatinan, dan yang terpenting adalah bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Adapun filsafat hidup wanita Jawa diantaranya; Rukun, yang berarti dalam keadaan selaras, tenang dan tentram tanpa perselisihan,bersatu dalam maksud untuk saling membantu.
Kemudian; Hormat. Prinsip menandaskan bahwa setiap orang dalam cara berbicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Wanita Jawa memegang prinsip ini dalam hubungan baik dengan suami maupun dengan orang lain. Prinsip hormat didasari pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis, bahwa keteraturan itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankan dan membawa diri sesuai dengannya.
Lalu; Pengendalian diri — yang dimaksud adalah kemampuan untuk membatasi dan mengekang segala bentuk kehendak dalam rangka menjaga keseimbangan dan keselarasan hidup. Sebuah nilai yang dipandang penting dan berhubungan dengan pengendalian diri ini, dapat dilihat pada ungkapan sak madya dan sak cukupe. Artinya yang sedang-sedang saja, yang menengah, cukupan, tidak terlalu dan tidak ekstrim. (Imam Trikarsohadi – Pemimpin Redaksi)