Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Esai

Patologi Birokrasi

×

Patologi Birokrasi

Sebarkan artikel ini

Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan tersangka dalam kasus pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude palm oil/CPO) yang menjadi salah satu sebab utama kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu. Ada empat tersangka yang telah ditetapkan yakni Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan berinisial IWW.

Selain IWW, kata Jaksa Agung ST Burhanuddin kepada wartawan, Selasa 19 April 2022, Kejagung juga menetapkan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia berinisial MPT; Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG) berinisial SMA; dan General Manager di PT Musim Mas berinisial PT sebagai tersangka.

Scroll Ke Bawah Untuk Melanjutkan
Advertisement

Ia menyebutkan bahwa tersangka diduga bermufakat jahat dengan pemohon untuk melakukan proses penerbitan persetujuan ekspor. Dimana, Kemendag mempunyai kewenangan untuk memberikan izin ekspor itu.

Menurut Burhanuddin, IWW sebagai pejabat di Kemendag menerbitkan izin dengan melawan hukum terkait persetujuan ekspor kepada tiga perusahaan itu. Kasus tersebut berkaitan dengan penerbitan persetujuan ekspor kepada eksportir yang seharusnya tidak mendapat izin karena tidak memenuhi syarat DMO (Domestic Market Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation).

Apa boleh buat, inilah fakta bahwa birokrasi di negeri ini tak sepenuhnya bersih, dan patologi birokrasi masih acapkali bercokol didalamnya– sebuah penyakit yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan dalam birokrasi. Penyakit ini bukan sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, tetapi sudah ada dan terpelihara sejak lama.

Membangun sistem kontrol dan akuntabilitas publik menjadi signifikan dalam memerangi patologi birokrasi. Sebagai “eksekutor” kekuasaan birokrasi sangat mudah terbuai dan tergoda untuk melakukan abuse of power. Untuk itu dalam menghadapi berbagai gejala empirik patologi dalam birokrasi, sudah saatnya diupayakan agar birokrasi memiliki daya tahan yang semakin tinggi terhadap berbagai penyakit yang menyerangnya, juga reformasi birokrasi harus dilakukan secara radikal dan komprehensip, karena pada dasarnya patologi birokrasi yang terjadi tidaklah berdiri sendiri, melainkan juga melibatkan para penegak hukum, kalangan swasta,  para politisi dan yang lainnya.

Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya tidak ada birokrasi yang menderita penyakit birokrasi sekaligus. Tapi yang perlu diingat adalah bahwa kekuasaan cenderung korup, tapi kekuasaan yang absolut pasti korup (power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely).

Dalam hal tersebut, selain sistem, bisa juga aparaturnya. Inilah yang kini terjadi di Kementrian Perdagangan, dan melibatkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan berinisial IWW. Bukan karena prestasinya di birokrasi guna meningkatkan kinerja ekspor yang berimplikasi terhadap kemajuan ekonomi nasional dan pendapatan pemerintah, melainkan justru karena perbuatannya telah membikin susah masyarakat seantero nusantara sebab kelangkaan minyak goreng.

Memang, tidak semua birokrat seperti Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan berinisial IWW, tetapi fakta tersebut seperti kembali menandaskan citra menyeluruh mengenai buruknya birokrasi.

Mal-administration yang dilakukan  IWW  atau nama lain yang barangkali akan segera muncul—sebenarnya bukanlah kesalahan yang bersifat individual, tetapi timbul karena kelemahan sistematik dari organisasi birokrasi. Yaitu kelemahan dan kegagalan organisasi dalam membentuk sistem yang mencegah terjadinya penyakit-penyakit birokrasi (patologi birokrasi), sehingga menyebabkan munculnya perilaku menyimpang yang diterima secara kolektif.

Fenomena IWW, dan nama-nama birokrat lain yang akan muncul serta menjadi bagian dari sindrom IWWisme adalah patologi birokrasi yang sudah menahun dan sistemis. Patologi ini seperti gurita, merusak sel-sel produktif dalam birokrasi dan melibatkan hampir semua pejabat dalam semua strata.

Jika dipetakan, setidaknya ada dua ruang lingkup patologi birokrasi, pertama; disfunctions of bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur, aturan, dan prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi atau birokrasi secara kelembagaan yang jelek, sehingga tidak mampu mewujudkan kinerja yang baik, atau erat kaitannya dengan kualitas birokrasi secara institusi.Kedua; mal-administration, yakni berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku yang dapat disogok, meliputi: perilaku korup, tidak sensitif, arogan, misinformasi, tidak peduli dan bias, atau erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusianya atau birokrat yang ada di dalam birokrasi.

Bentuk patologi birokrasi yang ditinjau dari perspektif perilaku birokrasi merefleksikan bahwa birokrasi sebagai pemilik kewenangan menyelenggarakan pemerintahan tentu memiliki kekuasaan “relatif” yang sangat rentan terhadap dorongan untuk melakukan hal-hal yang menguntungkan diri dan kelompoknya yang diformulasikan atau diwujudkan dalam berbagai perilaku yang buruk.

Suatu perilaku dikatakan baik, bila secara universal semua orang bersepakat mengakui suatu perbuatan yang menunjukkan tingkah laku seseorang memang baik, sedangkan sebaliknya suatu perilaku dikatakan buruk, bila secara universal semua orang bersepakat menyatakan bahwa tingkah laku seseorang itu buruk. Karena hakikatnya hanya dua jenis perilaku yang ada dalam diri manusia, yaitu perilaku baik dan perilaku buruk, yang kesemuanya itu tergantung dari manusianya sendiri. Dikaitkan dengan patologi birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam perspektif perilaku, maka yang dijadikan indikator adalah berbagai perilaku buruk dari birokrasi.

Birokrasi diharapkan dapat mewujudkan suatu tata pemerintahan yang mampu menumbuhkan kepercayaan publik, karena bagaimana pun pada akhirnya pelayanan publik produk dari suatu pemerintahan adalah terciptanya kepercayaan publik. Birokrasi tidak hanya sekedar melaksanaan kekuasaan, tetapi juga memiliki tujuan moral, sebuah birokrasi yang menghargai hak-hak masyarakat, bukan merampas dan/ atau memajalkan nasib masyarakat. (Imam Trikarsohadi – Pemimpin Redaksi).

Example 120x600
Esai

Jenis pemilih kedua adalah pemilih tradisional. Pemilih tipe ini memiliki orientasi yang cukup tinggi dari segi ideologi terhadap parpol pengusung dan. Atau paslon kandidat. 

Esai

Etikabilitas yang dimaksud adalah sebuah konsep kepatuhan seseorang atas nilai-nilai etis yang tercermin dalam segenap perilaku yang dilakukan. Sebab itu agar tidak salah pilih, maka etikabilitas tetap perlu mendapatkan tempat ketika memilih kepala daerah.

Esai

Untuk itu, Kota Bekasi perlu para pemilih yang cerdas yang anti money politic, tidak asal pilih, dan menjadikan visi, misi dan platform paslon sebagai pertimbangan utama, serta pemilih yang belajar dari pengalaman empiris perihal banyaknya pejabat Kota Bekasi yang tersandung kasus pidana korupsi oleh sebab pucuk pimpinan yang koruptif.

Esai

Setelah dilakukan penelusuran literasi, ternyata Paslon Bang Heri dan Bang Sholihin ini terbilang membumi dalam mengamati persoalan warga Kota Bekasi, karena sesuai data Pengadilan Negeri Agama Kota Bekasi, angka perceraian untuk Kota Bekasi sepanjang 2022 sejumlah 4.887 kasus. Terdiri atas cerai talak (oleh suami) sejumlah 1.305, cerai gugat (oleh istri) sejumlah 3.582 perkara.

Esai

Jadi, polarisasi politik yang terjadi pada pilpres, pileg dan kini pilkada, hanya merupakan ilusi yang berpotensi membawa diskursus demokrasi kita mengarah kepada proses pendangkalan. 

Esai

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum,” demikian bunyi ayat tersebut.