Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Esai

Jebolnya Benteng Utama Demokrasi

×

Jebolnya Benteng Utama Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Imam Trikarsohadi (Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik)

Dalam prosesi perhelatan pilkada serentak 2024, khususnya Pilkada Jakarta, kita kembali menyaksikan bahwa fungsi parpol sebagai agen rekrutmen politik (pintu pencalonan) semakin tidak berjalan optimal sebagaimana harapan masyarakat.

Diakui atau tidak, apapun alibi dan alasannya, fakta dengan tandas menunjukkan bahwa pencalonan lewat parpol masih sangat didominasi nuansa oligarki elit parpol. Bahkan acap kali terjadi konflik dalam proses pencalonan ini, dimana usulan DPW ditelikung oleh elit parpol di tingkat pusat.

Scroll Ke Bawah Untuk Melanjutkan
Advertisement

Pertanyaannya, kenapa semua itu terjadi berulang-ulang?“ Jawabnya karena ada celah yang amat lebar terkait regulasi Pilkada alias aturan main pilkada tak mengatur tuntas ihwal Pilkada.

Sebut misalnya Pasal 39 (a) UU No. 10 /2016 tentang Pilkada yang menjelaskan bahwa peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, artinya partai politik mempunyai kewenangan yang besar dan strategis untuk mengajukan pasangan calon.

Hal itu berarti juga bahwa parpol menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai hak istimewa untuk melakukan proses rekrutmen dimulai dari proses penjaringan, seleksi, pencalonan dan pendaftaran calon kepala daerah. Pertanyaannya, apakah ada jaminan bahwa mekanisme pada tiap – tiap parpol sudah dalam jalan yang benar untuk melahirkan pemimpin daerah?.

Hal lainnya, dalam Pasal 29 ayat (2) UU No. 2/2008 tentang Partai Politik menegaskan bahwa rekrutmen Bakal Calon Kelapa Daerah (Balon Kada) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD/ART dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tapi, pasal itu tidak disertai adanya ketentuan hukum yang jelas bagaimana tata cara dan prosedur yang dilakukan di tingkat parpol dalam menerima bakal calon, proses pendaftaran di parpol, tata cara seleksi, panitia seleksi dan sistem penilaian atau kriteria yang digunakan ditingkat parpol untuk menerima atau menolak bakal calon. Ringkasnya, otonomi yang diberikan kepada parpol dalam rekrutmen Cakada tidak diikuti dengan aturan hukum yang jelas.

Selain itu undang-undang juga tidak menguraikan dengan rinci dan jelas tentang makna demokratis dan terbuka dalam proses rekrutmen dan hanya menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme internal parpol. Dengan tidak adanya aturan hukum yang jelas bagaimana parpol melakukan rekrutmen Balon kada, menyebabkan parpol menafsirkan sesuai dengan kepentingannya, kebanyakan dilakukan secara tertutup, tidak aspiratif, tidak akomodatif, tidak selektif dan dapat suka – suka dalam mengajukan cakada.

Efeknya, implementasi pencalonan lewat parpol sering terdistorsi oleh praktik politik yang bukan saja tidak mengakomodasi aspirasi publik dalam penentuan calon, namun juga terjadi manipulasi aspirasi atas nama tawa – menawar. Pencalonan melalui parpol bukan lagi menjadi ajang kontestasi kapasitas dan kapabilitas, tetapi lebih pada ajang pertarungan siapa dapat apa.

Dengan model rekrutmen seperti ini sulit mengharapkan parpol dapat mengakomodir figur-figur potensial masyarakat, apalagi jika tidak memiliki modal sosial dan modal finansial yang cukup.

Dengan demikian, partai politik sebagai pilar demokrasi acap kali ngawur dalam menjalankan fungsinya sebagai sumber kepemimpinan, yaitu melakukan kaderisasi dan pembinaan karier politik para kader sebagai calon pemimpin rakyat .

Parpol juga cenderung gagal dalam menciptakan sistem rekrutmen yang demokratis dan terbuka. Parpol saat ini cenderung lebih berfungsi sebagai ‘kendaraan’ bagi kelompok masyarakat yang punya power kekuasaan dan berkantong tebal.

Pola oligarki elit yang berkembang di dalam lingkungan partai politik di Indonesia ini melahirkan sejumlah persoalan. Implikasinya akan melahirkan persaingan internal elit partai.

Puncak persaingan elit parpol yaitu terjadi pertikaian yang tidak hanya menghambat kinerja partai sebagai agregator kepentingan masyarakat tetapi melahirkan perpecahan kepengurusan parpol di semua tingkatan.

Persoalan lain yang timbul akibat oligarki partai adalah parpol gagal membangun mekanisme kerja yang berbasiskan aturan dan prosedur yang jelas dibarengi dengan otonomi dalam proses pengambilan keputusan, misalnya tentang penetapan calon kepala daerah. Terbukti sampai saat ini dalam proses penetapan calon pilkada masih sangat kuat pengaruh DPP di internal masing-masing parpol, parpol di tingkat DPD dan DPW harus menunggu sikap resmi DPP terhadap kandidat kepala daerah yang diusung. Akibatnya, potensi calon yang berasal dari daerah pemilihan sering kali dikalahkan oleh keputusan DPP yang mangajukan calon rekomendasi dari Jakarta.

Oligarki elit parpol yang memutuskan untuk mencalonkan cakada dari daerah lain yang bukan berasal dari dari daerahnya akan melemahkan kaderisasi, selain itu juga melemahkan kepengurusan partai di daerah secara perlahan. Akibatnya masyarakat dan kader-kader organik partai menjadi enggan untuk bergabung dan setengah hati mengurus partai, karena kaderisasi yang menjadi modalitas dalam rekrutmen menjadi tidak bermakna.

Puncaknya masyarakat semakin apatis terhadap partai politik, karena sudah kehilangan ruh demokrasi yaitu “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, partai hanya berorientasi sekedar menang pilkada dan segelintir elit yang akan merasakan nikmatnya.

Dampak lebih jauh dari oligarki elit parpol dan tidak adanya keterbukaan dalam proses seleksi calon adalah menjamurnya praktek politik jual beli. Realitas ini dialami para bakal calon bahwa faktor terpenting untuk mendapatkan “perahu” adalah kemampuan finansial kandidat untuk berbagai jenis pengeluaran mulai dari biaya “tiket” ke gabungan partai pengusung, biaya mobilisasi massa, biaya saksi dan operasional lainnya.

Ke depan, untuk menghilangkan oligarki elit politik dalam penetapan calon pilkada, perlu dibentuk peraturan hukum yang menjadi dasar bagi parpol atau gabungan parpol melakukan seleksi bakal calon kepala daerah ditingkat partai politik.

Setidaknya regulasi itu harus mengatur tentang; bagaimana system seleksi (apakah menggunakan metode konvensi atau lainnya ?, siapa panitia seleksinya?, bagaimana standar penilaian (apakah menggunakan lembaga lain diluar partai) ?, dan keharusan proses seleksi dilakukan secara demokratis dan terbuka.

Mekanisme demokratis dan terbuka juga harus dijelaskan dengan detail yang artinya parpol membuka diri, menginformasikan dengan benar dan jujur, memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat serta mempertanggung jawabkan proses dan hasil seleksinya.

Saat ini masyarakat pada umumnya di fait accompli / fetakompli oleh partai dan gabungan partai politik dalam penetapan pasangan calon kepala daerah. Masyarakat sesungguhnya tidak mengetahui bagaimana proses seleksi calon oleh parpol dan mengapa partai tertentu memilih untuk mencalonkan tokoh tertentu sebagai calon kepala daerah.

Kesimpulannya, hingga menjelang Pilkada serentak 2024,Parpol sebagai benteng utama demokrasi telah jebol, maka masyarakat sebagai benteng terakhir dituntut harus cerdas dalam menentukan pasangan calon kepala daerahnya.

Oleh : Imam Trikarsohadi (Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik)

Example 120x600
Esai

Jenis pemilih kedua adalah pemilih tradisional. Pemilih tipe ini memiliki orientasi yang cukup tinggi dari segi ideologi terhadap parpol pengusung dan. Atau paslon kandidat. 

Esai

Etikabilitas yang dimaksud adalah sebuah konsep kepatuhan seseorang atas nilai-nilai etis yang tercermin dalam segenap perilaku yang dilakukan. Sebab itu agar tidak salah pilih, maka etikabilitas tetap perlu mendapatkan tempat ketika memilih kepala daerah.

Esai

Untuk itu, Kota Bekasi perlu para pemilih yang cerdas yang anti money politic, tidak asal pilih, dan menjadikan visi, misi dan platform paslon sebagai pertimbangan utama, serta pemilih yang belajar dari pengalaman empiris perihal banyaknya pejabat Kota Bekasi yang tersandung kasus pidana korupsi oleh sebab pucuk pimpinan yang koruptif.

Esai

Setelah dilakukan penelusuran literasi, ternyata Paslon Bang Heri dan Bang Sholihin ini terbilang membumi dalam mengamati persoalan warga Kota Bekasi, karena sesuai data Pengadilan Negeri Agama Kota Bekasi, angka perceraian untuk Kota Bekasi sepanjang 2022 sejumlah 4.887 kasus. Terdiri atas cerai talak (oleh suami) sejumlah 1.305, cerai gugat (oleh istri) sejumlah 3.582 perkara.

Esai

Jadi, polarisasi politik yang terjadi pada pilpres, pileg dan kini pilkada, hanya merupakan ilusi yang berpotensi membawa diskursus demokrasi kita mengarah kepada proses pendangkalan. 

Esai

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum,” demikian bunyi ayat tersebut.