Demonstrasi di negara dengan sistem demokrasi seperti Indonesia merupakan hal yang lumrah. Cara itu sudah sangat lazim digunakan sebagai instrumen untuk mengkomunikasikan sesuatu atau menyampaikan aspirasi. Pasca keruntuhan Orde Baru, demonstrasi seperti menjadi peristiwa rutin.
Memang tak bisa dimungkiri bahwa demonstrasi merupakan salah satu bentuk sikap kritis terhadap kebijakan dan/ atau bakal kebijakan pemerintah yang dinilai tidak rasional.
Apa boleh buat, aksi demonstrasi di negeri ini dianggap sebagai salah satu refleksi dari proses demokrasi karena demokrasi menghendaki adanya partisipasi masyarakat untuk mengawal jalannya pemerintahan sehingga aksi tersebut dilakukan untuk menunjukkan suatu kebebasan berekspresi dan menyampaikan gagasan. Meski dalam beberapa peristiwa, demonstrasi terkadang dijadikan alat untuk memaksakan kehendak dari sekelompok orang terhadap otoritas tertentu, terlepas dari valid atau tidaknya tuntutan mereka tersebut.
Dalam sistem demokrasi seperti di Indonesia, demonstrasi juga menjadi ekspresi nyata dari sebuah kebebasan berpendapat, menyampaikan aspirasi dan kritikan terhadap suatu kebijakan yang disertai niat menegakkan keadilan membela kebenaran. Sebab itu, ada baiknya jika demonstrasi dilakukan sebagai sikap kritis dengan cara-cara yang intelek, elegan, dan bijaksana.
Para demonstran semestinya memegang teguh prinsip etis sesuai norma dan memahami akar permasalahan, sekaligus diikuti dengan pernyataan solutif sebagai masukan dan saran atas kekurangan/kekeliruan yang terjadi, karena kritikan tanpa saran konstruktif bagaikan sebuah teori yang tak didukung oleh data dan dalil ilmiah yang valid.
Menyatakan kebebasan berpendapat mestinya juga berlandaskan pada nilai-nilai religius dan etika budaya bangsa serta taat peraturan hukum, sehingga dalam melakukan aksi tersebut tidak menimbulkan kerusakan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Demonstrasi dalam sistem demokrasi, tentu, bukanlah sesuatu yang keliru, karena itulah sebuah konsekuensi atas pilahan dan kesepakatan kita yang telanjur menganut sistem demokrasi, dimana setiap orang dijamin oleh konstitusi untuk bebas berpendapat dan mengkritisi sesuatu, termasuk kebijakan presiden sekalipun.
Yang mesti diingat bersama-sama adalah bahwa kebebasan berpendapat dan mengkritisi sesuatu bukan berarti dengan semena-mena menghujat dan/ atau memaki tanpa batas-batas etika dan kesopanan. Bukan pula dengan mengatasnamakan demokrasi lalu melakukan aksi anarkistis dengan merusak fasilatas umum dan mengganggu ketertiban lalu lintas seraya meninju langit sambil meneriakkan kebenaran dan keadilan.
Dari berbagai aksi demonstrasi, setidaknya ada tiga tipe peserta demo, pertama; mereka yang benar-benar ingin menyuarakan pendapat, kedua; mereka yang ikut berdemo hanya ikut-ikutan saja tanpa mengetahui, apalagi memahami persoalan yang sedang di demokan. Pokoknya ikut demo lalu di update di media sosial guna memamerkan bahwa ia ikut demo. Ketiga; mereka yang berenergi negatif, dan ikut demo untuk hasrat bertindak anarkis, provokatif, serta gemar melakukan perusakan pelbagai fasilitas penting, sehingga terkadang memancing emosi pihak berwewenang dan memicu bentrokan.
baca juga : https://bekasiguide.com/2022/04/10/nilai-agung/
Maka, penting memahami dan melaksanakan etika dan tata cara demonstrasi yang baik dalam kebebasan bersuara. Caranya; pahami apa yang akan dan/ atau sedang didemokan. Ini penting agar peserta demo tahu : apa, siapa, kapan dan bagaimana persoalan itu perlu didemokan.
Jadilah demonstran yang bijak. Jangan pula takut untuk menegakkan keadilan, Indonesia akan maju apabila rakyatnya pintar dan bijak dalam menghadapi tiap persoalan yang muncul. (Imam Trikarsohadi – Pemimpin Redaksi)