Esai

Saya pun berterima kasih, dan mengajaknya bersalaman. “Terimakasih.”

Saya merenungkan itu, yang kemudian memulai berlari kecil di tanda lampu hijau. “Rabbighfir warham”.. Ya Allah ampuni kami. Larian kecil ini pun kemudian menjadi lebih bermakna saat mendapati track Sa’i yang sudah mulus marmer dan pendingin AC di sepanjang nya.

“Ah. Ya Allah. Nikmat manalagi yang harus aku dustakan? Shalat dan berdoa lurus di area Multazam. Tempat yang tak ada doa yang tertolak. Terimakasih ya Allah”.

“Menara yang biasa kami lihat di sajadah. Ya Allah, inikah menara masjid yang luar biasa megah itu?. Setidaknya ini menandaskan kemegahan bangunan. Bangunan yang dirindukan semua umat Islam.”

Sosok yang tak pernah putus asa. Menabung sejak 13 tahun, dan mendaftar sejak 2012. Dan akhirnya bisa berangkat tahun ini.

“Saya cukup merasakan getaran hati akan kerinduan ini. Menyambungkan shalawat jalan terbaik. Sambil menyaksikan jika makam itu hanya berjarak beberapa meter di depan kita”.

“Kalian ambil batu yang lain saja, agar pembangunan ini cepat selesai.” Subhanallah.

“Wahai Rasulullah… saya sudah disini. Sepanjang hidup saya membaca shalawat dan itu hanya untukmu.”

“Alhamdulillah.”