Keluarga ahli waris lahan yang kini digunakan sebagai Pasar Semi Induk Pondokgede mengadukan nasib mereka ke Komisi II DPRD Kota Bekasi, Rabu (8/10/2025). Mereka menuntut Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi agar menjalankan putusan pengadilan yang memerintahkan pengembalian lahan dalam keadaan bersih dan tanpa syarat.
Agustin, selaku juru bicara ahli waris, menegaskan bahwa pihaknya tidak menolak penyerahan lahan, tetapi menginginkan proses dilakukan sesuai hukum.
“Pertanyaan kami sederhana: menyerahkan lahan. Dan Wali Kota Bekasi sudah menjawab surat kami. Namun kami menantang beliau untuk menyerahkan lahan itu dalam keadaan baik, kosong, bersih, dan tanpa syarat yang membebani penggugat sebagaimana bunyi putusan pengadilan,” ujar Agustin kepada awak media pada Kamis, 09 Oktober 2025.
Agustin menilai, surat jawaban Pemkot Bekasi justru bertentangan dengan amar putusan. Ia mengungkap, di atas lahan tersebut masih berdiri bangunan pasar dengan perjanjian kerja sama (PKS) antara Pemkot dan pengembang sejak 2020.
“Artinya tidak mungkin lahan itu bisa diserahkan begitu saja. Kalau pemerintah memilih langkah eksekusi, justru menimbulkan konflik baru dan potensi kerugian negara hingga Rp25 miliar,” katanya.
Menurutnya, ahli waris tidak bermaksud merusak aset daerah, tetapi justru ingin mencegah penyimpangan dengan meminta pembayaran sah atas lahan tersebut, agar menjadi aset resmi milik Pemkot Bekasi.
Agustin juga menyinggung sikap pemerintah kota yang dinilai tertutup dan enggan berdialog langsung dengan pihak ahli waris.
“Kami sudah berjuang sejak 2016, sejak tiang pancang pertama berdiri. Tapi saat kami ingin bertemu wali kota, pertemuan hanya dua menit. Sebagai warga berusia 75 tahun, ahli waris merasa tidak dihormati,” ucapnya.
Kasus ini telah bergulir sejak 2016 dan baru memperoleh putusan Peninjauan Kembali (PK) pada 17 April 2025. Dalam putusan itu, tergugat diwajibkan menyerahkan lahan dalam keadaan kosong serta membayar dwangsom (uang paksa) Rp5 juta per hari apabila terjadi keterlambatan. Hingga kini, nilai denda diperkirakan telah mencapai Rp1,65 miliar.
“Bayangkan, uang sebesar itu seharusnya bisa membantu masyarakat, bukan menjadi beban akibat kelalaian pemerintah,” tutur Agustin.
Ia menambahkan, luas lahan yang disengketakan mencapai 4.500 meter persegi, sementara HPL milik Pemkot tercatat 5.779 meter persegi. “Artinya ada 1.200 meter persegi yang tidak termasuk gugatan. Jadi tidak semua lahan itu bagian dari perkara,” jelasnya.
Pihaknya berharap Komisi II DPRD Kota Bekasi dapat menjadi penengah yang objektif dan tidak berpihak pada kepentingan pengembang. Jika tidak ada solusi, ahli waris berencana menggugat Pemkot Bekasi dan pengembang ke Pengadilan Niaga.
Sementara itu, Sekretaris Komisi II DPRD Kota Bekasi, Evi Mafriningsianti, membenarkan bahwa telah menerima audiensi warga yang mengaku sebagai ahli waris. Dikatakannya, bila membaca keputusan PK mengharuskan pengembalian lahan, bukan dalam bentuk uang.
“Tuntutannya sesuai keputusan PK, memang harus ada pengembalian lahan secara langsung. Tapi karena di atasnya sudah berdiri bangunan, penyelesaian akan dilakukan bertahap dengan melibatkan pemerintah, ahli waris, investor, dan pihak perbankan,” jelas Evi.
Ia menegaskan, proses rislah (penyelesaian hukum) masih berjalan dan DPRD siap memfasilitasi dialog antara semua pihak agar konflik tidak berlarut.