TAWAF qudum namanya. Tawaf kedatangan. Inilah yang saya lakukan, saat melakukan tawaf pertama kali. Saat pertama kali kami menginjakkan kaki di Tanah Suci.
Dengan mengenakan pakaian ihram, rombongan kami mulai mengawali tawaf. Sebelumnya, kami menuruni tangga menuju area tawaf. Mata tak berkedip, melihat ka’bah di depan kami.
Ya, hanya berjarak beberapa meter. Bangunan yang menjadi kiblat seluruh umat Islam itu ada didekat kami.
Kami memulai tawaf dari tanda biru. Tanda itu dipasang lampu tepat di tiang seberang segaris dengan sudut Hajar Aswad.
Saya mengawali niat tawaf qudum, sambil melambaikan tangan dengan mengucap ‘bismillahi Allahu Akbar’, kemudian mengecup telapak tangan. Allahu Akbar.
Menapak kaki mengikuti arus jamaah yang mengitari ka’bah. Bertawaf. Disamping doa tawaf, berbagai pujian dan tasbih juga kami lafalkan.
Ya Allah. Kami datang memenuhi panggilan-Mu.
Beragam syukur kami rasakan. Jutaan karunia sehingga kami bisa ada di sini. Bukankah kami bukan siapa-siapa, namun kemudian ada bersama jamaah seluruh dunia ada di sini.
Bayangan kami melambung jauh. Membayangkan orangtua yang telah meninggalkan kami. Membayangkan wajah ayah yang demikian kuat rindu keinginan bisa ke sini, tetapi sampai akhir hayat tak kesampaian. Mendoakan mereka.
Juga membayangkan sahabat dan kerabat. Juga para guru dan murid yang mempunyai niat ingin bisa sampai ke sini. Juga mendoakan mereka.
Juga melambungkan doa khusus untuk anak-anak. Agar mereka bisa diberi kesempatan bisa berkunjung di Baitullah ini.
Satu dua putaran kami lalui. Bayangan masih demikian dalam. Sampai tak terasa mata telah sembab. Ya Allah, mohon kabulkan kepada siapa pun sahabat dan kerabat kami yang ingin ke sini. Agar bisa menikmati karunia luar biasan ini.
Semakin akhir putaran, tak terasa putaran sampai pada putaran terdalam. Desakan jamaah semakin padat. Terus saja kami mengikuti arus. Sambil berharap bisa sampai di lingkaran terdekat.
Tetapi ternyata gagal. Sampai putaran terakhir, putaran ke tujuh, kami tak bisa mepet ke dinding kabah. Sehingga kami mengakhiri tawaf dengan shalat di dekat Maqam Ibrahim. Lebih melebar lagi.
“Ah. Ya Allah. Nikmat manalagi yang harus aku dustakan? Shalat dan berdoa lurus di area Multazam. Tempat yang tak ada doa yang tertolak. Terimakasih ya Allah”.
Usai shalat, dan minum air zam-zam, kami beristirahat sejenak. Duduk sambil menatap bangunan luar biasa itu.
Tak ada berasa lelah. Meski sudah berjalan puluhan kilometer mungkin. Yang ada hanya kelegaan yang luar biasa.
Bekasi, 20 Mei 2025
Penulis : Chotim Wibowo (IPHI Kota Bekasi)