Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Esai

Duh, Kangen Kanjeng Nabi

×

Duh, Kangen Kanjeng Nabi

Sebarkan artikel ini
Chotim Wibowo (IPHI Kota Bekasi)

DUA hari lagi, jamaah haji bakalan berangkat. Gelombang awal, tentunya akan ke Madinah dulu. Kira-kira, apa ya persiapan jamaah karena akan ‘sowan’ Kanjeng Nabi?

Memang enak sih, nulis atau ngomongin haji ini. Memacu emosi untuk bernostalgia. Mengingat hal yang indah saat perjalanan haji itu dimulai. Seperti saat ini, dimana para jamaah segera berangkat ke tanah suci, awalnya akan ke Madinah.

Scroll Ke Bawah Untuk Melanjutkan
Advertisement

Terutama bagi mereka yang belum pernah umroh atau haji, jamaah biasanya galau. Super galau, kata saya ma. Dan ini wajar, kerena perjalanan haji adalah memang puncak perjalanan rohani. Bagi yang pernah ke sana, mungkin bisa menjadi renungan.

Beberapa kajian, ada perbedaan terkait beberapa syariat haji ini. Entah, sejauh yang saya rasakan, perbedaan ini malah seringkali menjadi hal yang membingungkan umat. Belum mampu menjadikan rahmatan lil alamin. Saling merasa benar antar jamaah. Efeknya, kurang khusuk dalam menjalankan rukun haji.

Ini sisi lain. Seorang teman ngaji tertegun saat saya cerita bahwa para calon haji dalam hitungan dua hari ke depan akan sowan kanjeng nabi. Mereka pasti galau, karena akan ‘bertemu’ sosok yang dicintainya.

Saya bercerita awal masuk masjid Nabawi. Karena di masjid itu ada makam Rasulullah SAW. Sosok yang setiap saat kita rindukan. Sosok yang setiap hari kita kirimi shalawat dalam sholat kita. Sosok yang sejak kecil kita, sudah diajarkan orangtua untuk mencintainya.

Sosok kekasih Allah yang menyampaikan risalah. Sehingga kita bisa berislam dan beriman. Sosok yang sangat mencintai kita umatnya, jauh sebelum kita tahu. Bahkan jauh sebelum kita lahir. Ummatiy…

Sosok yang setiap disebut namanya, tak terasa ada getaran lembut di hati kita. Jujur saja, getaran itu begitu lembut, namun demikian menghujam. Yang seringkali, kita dibuat sembab akan air mata kerinduan.

Bagi yang suka membaca kisah maulid, getaran itu begitu sangat terasa. Rasulullah seperti benar-benar hadir disaat mahalul qiyam. Cess.. adem.

Atau bagi yang nggak suka Maulid, lalu membaca sirah nabawiyah, yang demikian mengesankan saat seorang pemimpin humble. Sosok yang dicintai umatnya dan dicintai malaikat jibril.

Ingat kisah saat Rasulullah pertama kali membangun masjid di Quba? Beliau turun langsung, Mengangkat batu-batu yang besar untuk pondasi Masjid Quba. Sampai jemarinya berdarah. Sahabat yang mencintainya, kemudian berkata; Wahai Rasulullah, cukup kami saja yang mengangkat bebatuan ini.

Lalu apa jawab Rasulullah; “Kamu ambil batu yang lain saja, agar masjid ini cepat selesai.” Deg. Nangis khan kita? Ada sosok presiden seperti itu?

Atau kisah saat beliau mulai awal berdakwah ke Taif? Apa sambutan penduduk Taif? Mereka menolak. Mereka menyambutnya dengan lemparan batu sampai wajah mulianya berdarah.

Malaikat Jibril kemudian marah. “Wahai Rasulullah, angkat tanganmu berdoalah. Dan aku akan mengangkat gunung Taif ini untuk membinasakan penduduk itu.”

Tapi apa jawab Rasulullah? “Jangan. Mereka saat ini menolak. Tetapi bisa jadi anak-keturunan mereka kelak akan beriman.” Deg lagi aja.

Terlalu banyak kisah Rasulullah yang mencintai kita ini. Berjilid buku tak akan mampu menyelesaikan kearifan dan kehebatan sosok Nabi Akhir Zaman ini.

Saat pertama kami berziarah ke Masjid Nabawi ini, sejak keluar hotel kami tak putus membaca shalawat. Gemeter ini badan. Tatapan mata tak mampu mendongak. Berjalan mengikuti rombongan dengan kegalauan super yang dibalut shalawat.

“Assalamualaika Ya Rasulullah. Assalamualaika ya Habiballah. Kami datang wahai Rasulullah.”

Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad. Semoga kita yang belum diberi kesempatan ke Masjid Nabawi segera Allah kabulkan. Allahumma amien.

Penulis: Chotim Wibowo (IPHI Kota Bekasi)

Example 120x600
Esai

“Saya cukup merasakan getaran hati akan kerinduan ini. Menyambungkan shalawat jalan terbaik. Sambil menyaksikan jika makam itu hanya berjarak beberapa meter di depan kita”.

Esai

Saya jadi teringat ayah saya almarhum. Saat itu, beliau sudah kesana-kemari mengajar tentang manasik haji-umroh. Buku manasik yang selalu dibawa dalam tas mengajarnya sudah lusuh. Ayah memang seorang guru dan pendakwah agama.