Beberapa waktu lalu, saya menyertai Calon Gubernur Jawa Barat, Ahmad Syaikhu memulai proses panjang kampanye dengan pulang kampung ke Tanah Cirebon – daerah bertuah dimana ia dilahirkan dan dibesarkan.
Cirebon bila dikaitkan dengan konteks sosok kepemimpinan nasional, maka selalu saja memantik rasa penasaran, karena selalu saja ada hal yang unik didalamnya. Apalagi bila hal itu menyangkut sosok yang datang dari garis keturunan pahlawan, keluarga santri dan poros Kanjeng Sunan.
Sebab itu, sejak awal saya menyampaikan ke Kang Ahmad Syaikhu untuk menyertainya sejak titik awal. Dasar pertimbangannya, selain berkesempatan bersilaturahmi dengan sanak saudara,juga ada dugaan dalam diri saya bahwa akan ada yang menarik untuk ditelisik.
Kami memang sama – sama dilahirkan dan dibesarkan di Cirebon dengan rute dan gerbong leluhur yang mirip yakni, dari leluhur pejuang, dari kakek atau ayah kami yang berprofesi naib atau guru/ustadz atau pemilik pesantren,dst.
Kami dididik secara ketat ihwal pentingnya ilmu pengetahuan (sinau), kepemimpinan, andap asor (adab) hidup di tengah-tengah masyarakat, dst. Bedanya, Kang Ahmad Syaikhu berproses di ujung timur Cirebon (Ciledug), saya berproses di ujung barat Cirebon (Ciwaringin). Sebab itu, ada detail yang tak saling terpantau ihwal masa kecil hingga remaja. Karena itu pula, saya bertekad mencari tahu lewat kesempatan itu.
Ringkas kata, kegiatan dimulai dengan sholat subuh berjama’ah di Masjid Darussalam, Ciledug Kulon. Dari suasana sebelum dan sesudah sholat, dapat disimpulkan bahwa Ahmad Syaikhu dari kecil hingga kini, dikenal dan dihormati oleh warga dan para jama’ah disitu.
Sambil sarapan pagi bersama usai subuh di teras masjid, beberapa teman semasa kecil Ahmad Syaikhu bercerita kepada saya bahwa Ayahanda (K.H Ma’soem bin Aboelkhair), selalu membawa Syaikhu kecil sholat berjamaah di masjid ini. Ringkasnya, mereka mengisahkan aneka macam kenangan yang kesimpulannya; Syaikhu sejak kecil merupakan anak masjid.
Usai dari masjid, kami menuju rumah kakek dan rumah Ahmad Syaikhu sewaktu kecil yang jaraknya hanya beberapa langka dari masjid. Dahulu, sebagian besar keluarga kakek Syaikhu tinggal berdekatan di lokasi itu, sebelum akhirnya berpencar. Mendapati kenyataan ini, saya teringat masa kecil dulu, sebab pola, jarak dan kondisi yang serupa saya alami dengan kakek di Ciwaringin.
Ketika memasuki rumah sang kakek, saya mendapati sebuah foto yang terpajang di ruang tamu. Salah satu kerabat membisiki saya bahwa itu adalah foto KH. Abul Khoir, kakek Ahmad Syaikhu. Sejarah mencatat mendiang adalah ulama pejuang yang wafat ditembak tentara Belanda usai sholat Jum’at.
Entah kenapa, saya menatap lama foto itu, dan alam pikiran pun berkelana sedemikian rupa. Kisah tentang beliau sudah lama saya dengar dari pelbagai sumber, termasuk dari kerabat keraton yang tinggal di daerah Ciledug dan sekitarnya. Kini, atau tepatnya lebih dari 10 tahun ini, cucu sang pahlawan itu, berjarak cukup rapat dengan saya dalam berbagai situasi.
Usai dari rumah sejarah sang kakek, kami dan rombongan berziarah ke makam Almarhumah Nafi’ah binti Thohir, Ibunda Ahmad Syaikhu. Semasa hidup, saya acap kali bertemu dengan beliau. Tiap kali dekat beliau, ada rasa damai dan menenangkan hati; senyum, ramah tamah dan perlakuannya kepada saya seperti pengobat hati kerinduan kepada ibu dan dua nenek saya.
Ahmad Syaikhu sangat menghormati dan menyayangi Ibundanya. Ia acap kali memberi kabar ke saya saat Ibundanya berkunjung ke rumahnya. Dulu, raut wajahnya berbinar-binar manakala dekat sang Bunda, perilaku kecilnya acap kali muncul saat dekat Bunda. Bila Bunda yang dipanggil Mimi itu sakit atau ada kendala, maka ia akan menggeser seluruh kegiatan demi memberi perhatian yang optimal untuk Mimi. Si bungsu (bontot) ini memang anak Mimi banget, dan ia sangat memuliakan Ibunya.
Baik, cerita tentang Almarhumah Nafi’ah binti Thohir skip saja, sebab kalau diteruskan ada yang tak bisa saya tahan untuk meleleh.
Kita lanjut ke babak berikutnya. Sepulang ziarah dari makam Almarhumah Nafi’ah binti Thohir, saat kami berjalan, ditengah jalan berpapasan dengan seorang pria mengendarai sepeda. Ketika persis berpapasan dengan Ahmad Syaikhu, pria itu spontan berujar:”…tong.”
Aneh bin ngagetin. Syaikhu merespon panggilan itu, dan bercakap – cakap dengan si pria bersepeda. Dari percakapan keduanya akhirnya diketahui bahwa pria itu Bernama Muin, ia teman kecil Syaikhu, dan Syaikhu kecil punya panggilan nama : Otong. Di Cirebon, orang tua kadangkala memanggil anak pria kesayangannya dengan sebutan otong atau kacung.
Pun dari percakapan itu, diketahui bahwa Syaikhu kecil memang mudah bergaul dengan siapa saja, cakap bermain sepakbola, menonjol diantaranya teman-temannya, rajin ngaji dan ke masjid.
Sambil berjalan,saya berkata pelan dengan gaya sok polos ke Ahamd Syaikhu agar tak didengar orang lain:”..oh waktu kecil dipanggil Otong yak?”.Syaikhu hanya melirik saya sambil senyum- senyum dikulum.
Intisarinya, Ahmad Syaikhu sejak kecil memang sudah terbina untuk disiplin beragama, menimbah ilmu, bergaul luas dan berperilaku baik, dan selalu andap asor kepada siapa pun, sehingga ia memberkaskan kenangan yang kuat bagi yang pernah mengenalnya.
(berlanjut ke tulisan selanjutnya).
Oleh : Imam Trikarsohadi