Ditengah- tengah proses pengusungan paslon pilkada serentak 2024 yang akrobatik, ada hal – hal yang harus menjadi pertimbangan utama masyarakat pemilih dalam menentukan paslon mana yang akan diberi amanat memimpin ke depan, sehingga situasi dan kondisi tidak terjerembab dalam kubangan yang sama.
Hal itu menjadi wajib sifatnya mengingat fakta yang dengan tandas menunjukkan bahwa telah terjadi krisis moral dan akhlak di kebanyakan pejabat publik. Selain itu, ada begitu banyak pejabat publik yang terpilih hanya karena popular sonder kecakapan dalam mengelolah tata pemerintahan dan mengurus rakyat. Fakta juga berbicara lantang bahwa elektabilitas bisa direkyasa sedemikian rupa asal punya banyak uang.
Guna mensiasati agar tidak salah memilih kepala daerah, maka setidaknya ada tiga hal utama sebagai barometer menentukan pilihan yakni, etikabilitas, intelektualitas dan elektabilitas.
Etikabilitas yang dimaksud adalah sebuah konsep kepatuhan seseorang atas nilai-nilai etis yang tercermin dalam segenap perilaku yang dilakukan. Sebab itu agar tidak salah pilih, maka etikabilitas tetap perlu mendapatkan tempat ketika memilih kepala daerah.
Apa boleh buat, gelaran Pilkada sudah didpan mata, dan seperti biasa, arus komunikasi politik begitu riuh. Beragam peristiwa politik, beragam manuver kerap dilakukan. Tak lain tak bukan dimainkan para elit politik. Di sini, seolah publik hanya bisa menonton pentas yang kadang sangat lucu dan di luar nalar akal sehat.
Padahal, dalam konsolidasi demokrasi, justru yang diperlukan adalah lapisan publik umum yang melek politik dan punya kesadaran rasional dalam memilih pemimpin. Di sinilah pentingnya publik berperhatian (attentive public) untuk bisa memberikan tempat pada isu etikabilitas.
Sejauh ini, pubik kerap disuguhi tingkat keterpilihan (elektabilitas) kandidat oleh beragam lembaga survei atau polling – pollingan. Padahal, seakademis apapun performa lembaga survei, dia tidak benar-benar terbebas dari kepentingan politik. Bias-bias politik juga sisi gelap metodologi tetap bakal menyelimuti. Itu sebabnya, penggiringan opini lembaga survei yang barangkali begitu halus sekalipun mesti disikapi dengan kritis agar bisa lebih obyektif dalam menilai kandidat yang seringkali cenderung dipaksakan pencitraannya.
Etikabilitas tidak hanya menyangkut persoalan baik atau buruk, tapi juga pantas atau tidak pantas. Ingkar terhadap janji politik dan/ atau acapkali memberi harapan palsu (PHP) dalam proses kandidasi bukanlah performa bermoral.
Untuk itulah, jangan memilih paslon kepala daerah yang tak punya common sense (akal sehat, budi pekerti, nalar yang baik). Akal sehat selalu terkait dengan keberpihakanya kepada publik, budi pekerti terkait dengan kualitas moral pemimpin, sementara nalar yang baik terkait dengan bagaimana visi besar pemimpin tampak dalam beragam ide dan kebijakan yang memberikan arah perubahan menuju kemajuan.
Dasar pertimbangan berikutnya adalah intelektualitas. Secara hakikat intelektualitas adalah kecerdasan intelektual dalam memecahkan masalah dan juga memiliki kreativitas, kepribadian, serta pengetahuan.
Kadar intelektualitas yang mumpuni wajib dimiliki paslon kepala daerah, karena hal ini bermakna faktor psikologis kesiapan mental. Kecerdasan-kecerdasan berpikir pemimpin inilah yang wajib dipertimbangkan dalam menyambut pilkada serentak 2024.
Dalam definisinya intelektualitas terdapat berbagai macam yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan matematik atau logika, kecerdasan spasial, kecerdasan kinetik dan jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan yang terakhir yaitu kecerdasan naturalis.
Dengan etikabilitas dan intelektualitas yang dimiliki akan memantik kapabilitas dan kualitas paslon kepala daerah dalam mempertimbangkan apa yang akan dilaksanakannya dalam periode 5 tahun ke depan.
Setelah paslon lulus dengan dua aspek tersebut, maka berikutnya adalah pertimbangan elektabilitas, tapi elektabilitas sonder rekayasa.
Artinya, elektabilitas bisa dipertimbangkan jika pemenuhan etikabilitas dan juga intelektualitas sudah tercapai.
Oleh : Imam Trikarsohadi(Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik)