Proses demokratisasi sebagai salah satu agenda reformasi di Indonesia yang menyedot perhatian belakangan ini adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Sejalan dengan upaya untuk meletakkan demokratisasi pada tempatnya, Pilkada ini pun dilaksanakan secara langsung dengan menjadikan rakyat sebagai basis penentu kemenangan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah terlibat secara mendalam guna memahami arti kehidupan pentingnya berdemokrasi.
Undang-undang No. 32 tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menjamin terlaksananya proses demokratisasi tesebut, dimana proses pemilihan dilakukan secara langsung dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dengan diterapkannya sistem Pilkada secara langsung oleh rakyat, maka para kontestan dihadapkan pada realitas bahwa masyarakat (pendukung) merupakan kunci keberhasilan guna memenangkan kontestasi. Artinya, para kontestan semakin ditantang untuk mampu merebut, memuaskan, dan meyakinkan konstituen untuk memilih dirinya.
Apa boleh buat, para paslon Pilkada harus memahami bahwa dalam kondisi persaingan yang semakin ketat dan bahkan acap kali pragmatis, peta kekuatan ada di tangan rakyat.
Dengan demikian sudah sepantasnya mereka memberikan kontribusi yang terbaik kepada rakyat, bukan janji pragmatis yang kemudian akan dibalas lebih pragmatis oleh rakyat di kemudian hari. Kata kuncinya adalah berikan yang terbaik dan yang terindah kepada masyarakat, sehingga mudah diingat dan dikenang sepanjang masa.
Dengan kata lain wujudkan impian dan harapan-harapannya sehingga citra baik seorang figur pimpinan (kandidat) akan tetap terjaga, loyalitas meningkat, dan jumlah pendukung akan bertambah dengan sendirinya.
Dengan berubahnya struktur mekanisme pilkada secara langsung, para kontestan atau kandidat semakin ditantang untuk mampu menganalisis dan mendiagnosis secara cermat bagaimana seorang pemilih (voter) menjatuhkan pilihannya kepada seorang kontestan yang diyakini mampu menampung dan mewujudkan aspirasi serta harapan – harapannya. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya untuk memahami berbagai perilaku dari peserta pemilih menjadi semakin penting di mata para kontestan.
Dengan memahami perilaku pemilih (voter), seorang kandidat atau kontestan dapat berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat. Pemahaman tentang hal ini juga akan sangat membantu para kontestan untuk mentransfer pesan politik kepada publik secara efektif dan membantu memposisikan dirinya di tengah-tengah persaingan yang ada.
Intinya bahwa dengan memahami karakteristik dan perilaku pemilih ini, seorang kontestan dapat merumuskan dan mengimplementasikan strategi yang tepat untuk memenangkan persaingan.
Ada beberapa faktor yang biasanya dijadikan referensi konstituen terhadap calon kepala daerah diantaranya;
(1). Program atau kebijakan publik yang yang ditawarkan dan/ atau akan diperjuangkan oleh kandidat;
(2). Citra Sosial (Social Imagery) kandidat maupun parpol yang mengusungnya;
(3). Perasaan emosional (emotional feeling), yakni dimensi emosional yang nampak dari seorang kandidat yang ditunjukkan oleh perilaku atau kebijakan-kebijakan yang terlihat dari aktivitas, komentar kandidat terhadap suatu peristiwa tertentu yang dapat menyentuh hati pemilihnya;
(4). Citra Kandidat, adalah sifat-sifat khusus yang melekat pada seorang kandidat, dan yang membedakannya dengan kandidat lainnya, seperti perilakunya, kharismanya, tutur katanya, kemampuan intelektualnya, maupun kemampuan beradaptasi dengan komunitas di mana ia berada;
(5). Peristiwa mutakhir (current events), meliputi kumpulan peristiwa, isu, serta kebijakan yang berkembang selama masa kampanye sampai menjelang pemungutan suara;
(6). Peristiwa personal (personal events), yakni kehidupan pribadi dan peristiwa yang dialami selama karier yang dijalani sebelum terpilih sebagai seorang kandidat;
(7). Isu-isu Epistemik, yakni isu-isu pemilihan yang spesifik yang dapat memacu rasa keingintahuan pemilih mengenai hal-hal yang baru, misalnya figur kontestan yang bertekad membenahi kinerja birokrasi, memberantas pungli dan korupsi, punya potensi mampu mengangkat taraf hidup masyarakat ekonomi lemah dari berbagai kemiskinan keterbelakangannya, mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat, mampu menciptakan tata kelola pemerintahan yang adil, jujur, bermartabat dan sebagainya.
Terkait karakter pemilih, maka sesuai perkembangan termutakhir, setidaknya ada tiga jenis pemilih;
Pertama; Pemilih berorientasi pada kebijakan yang ditempuh oleh seorang kandidat dalam upaya memenangkan pilkada, yakni sejauh mana para kandidat/kontestan mampu menawarkan program kerja yang dapat memecahkan persoalan mendasar dari para pemilih.
Disini, pemilih akan memilih secara obyektif kandidat yang memiliki kepekaan terhadap masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat banyak. Kandidat yang tidak jelas arah kebijakannya akan cenderung tidak dipilih oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam diri pemilih itu sendiri ada terdapat harapan-harapan dan keinginan untuk memperoleh adanya suatu pembaharuan dalam kehidupannya,baik terkait hidup pribadi maupun kehidupan bersama.
Kedua; Pemilih yang berorientasi pada ideologi yang dianut oleh partai maupun seorang kandidat, yakni adanya kedekatan nilai budaya, agama, moralitas, norma, emosi dan psiko grafis. Semakin dekatnya nilai-nilai yang dianut oleh kandidat dengan para pemilihnya, maka pemilih akan cenderung memberikan suaranya kepada kandidat tersebut.
Ketiga; Pemilih pragmatis yang berorientasi pada keuntungan sesaat. Jenis pemilih demikian tidak perduli dengan program atau ideologi kandidat. Bagi mereka, siapa yang berani kasih sogokan banyak, itulah yang dipilih.
Dengan adanya realitas tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa keputusan masyarakat untuk memilih paslon peserta Pilkada sangat dipengaruhi setidaknya tiga faktor mendasar yakni; kondisi awal pemilih, media masa, kapasitas kandidat serta parpol yang mengusungnya.
Penulis : Imam Trikarsohadi (Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik).