RAUT wajah Basiimah, tampak cerah ketika diminta mengenalkan huruf-huruf Arab di hadapan audiens. Dia juga energik, ketika menyampaikan bagaimana cara ‘melafalkan’ secara isyarat. Dia sangat antusias. Tentu, saya memahaminya melalui penterjemah isyarat, yang disampaikan ibunya, Nur Indah Harahap, di sampingnya.
Wah, luar biasa. Basiimah mengenalkan Al-Quran secara isyarat kepada peserta yang hadir. Bagaimana mengisyaratkan kata-kata tertentu.
Terus terang, penulis sempat kagum. Juga bercampur haru. Jujur kalau hal ini hal baru. Ternyata ada ya komunitas di sana, yang ingin memahami AlQuran dengan kemampuannya. Yakni komunitas disabilitas tuna rungu-wicara. Selama ini yang kita kenal hanya Alquran tulis dan ada juga Braille untuk tuna netra. Tapi, untuk kaum tuna rungu? Belum ada.
Sepertinya simpel, tetapi ternyata demikian rumit untuk mengisyaratkan karena ini Alquran. Apa terkait denga kosa kata, atau juga sisi tilawahnya. Panjang pendek. Belum lagi terkait tafsir maknawy.
Basiimah adalah sosok yang diberi karunia Allah tidak bisa mendengar dan bicara. Dia lahir dari keluarga yang normal. Namun sejak kecil, ketika berusia dua tahun, orangtuanya menyadari jika ada kekurangan dalam diri Basiimah. Dia kurang respon saat diberi suara. (hal. 46)
Benar, kemudian diperiksa dokter ahli dan didapati kekurangan tersebut. Dia tuli. Perjuangan sejak usia dua tahun sungguh luar biasa. Orangtua seperti tak kurang upaya mengusahakan agar bisa sembuh normal.
Bahkan, ketika kemudian harus menjalani operasi penanaman alat dengar yang lumayan mahal ditempuh. Namun, itu tak kunjung membuahkan hasil. (hal 49). Cinta orangtua tak kan pernah pupus. Dan ketangguhan seorang Basiimah luar biasa.
Hingga kemudian, orangtua justru mendapati hal baru. Meyakini jika kekurangan itu sebenarnya bukanlah harus disesali. Kekurangan bukanlah hambatan. Identitas yang tak boleh mengeluhkan dan mengesampingkan rasa syukur kepada Allah.
Perjuangan mengajari anak sesuai dengan keterbatasannya. Disekolahkan ke Sekolah Luar Biasa (SLB) meskipun itu harus berjarak jauh ke Jakarta. Dibayangkan, orangtua dan anak seusia TK harus bolak-balik tiap hari ke Jakarta sekolah. Berjibaku menjadi sebuah proses yang kemudian menumbuhkan tekad kuat.
Selepas sekolah di Jakarta, Basiimah kemudian sempat mencoba di sekolah umum. Tetapi, lingkungan normal memang tak bisa mendukung. Sehingga kemudian memilih pesantren khusus dengan pendalaman Kaligrafi. Pesantrennya ada di Sukabumi.
Bekal ini menjadikan Basiimah lebih kaya dalam religi. Dia juga judah bisa menjadi duta dan motivator bagi komunitasnya. Dia akhirnya dipercaya menjadi Kepala Sekolah Khusus, Rumah Belajar Ibtisamah Mulia, sekolah khusus bagi kaum tuna rungu.
Saat penulis bertemu, ketika Basiimah menjadi tutor mengenalkan Alquran Isyarat di Joglo Kembar di akhir Tahun 2022. Basiimah dipercaya mengenalkan Alquran Isyarat. Dia mengajari audiens bagaimana membaca Alquran dengan Bahasa Isyarat.
Dan memang, Basiimah menjadi bagian dari tim yang dibentuk Kementrian Agama RI melalui Lajnah Pentashih Alquran. Bersama dengan berbagai komunitas, akademisi dan pakar, mereka mentashih Alquran Isyarat. Saat ini, Lembaga Pentashih Mushaf Alquran (LPMQ) sudah mengeluarkan Alquran Isyarat Juz 30.
“Saya sampai tak bisa membendung air mata saat Basiimah simbolik menerima Alquran Isyarat itu dari KH. Mukhlis Hanafi. Terima kasih Basiimah. Terima kasih anakku,” kata Heri Koswara, ayah Basiimah. (Hal. 27)
Apa kata Basiimah?: “Tuli adalah sebuah identitas yang tak boleh menghalangi cita-cita,”
Oleh: Chotim W (Pimpinan Redaksi)