Oleh : Imam Trikarsohadi
Secara hitungan waktu, kontestasi Pilpres 2024 masih cukup lama, tapi tidak demikian bagi mereka yang berkecimpung di arena politik praktis. Bagi mereka, rangkaian pileg, pilkada dan pilpres 2024 sudah didepan mata, dan karenanya segala persiapan harus sudah digulirkan.
Lembaga-lembaga survei pun demikian, mereka sudah mulai menebak arah kandidat dan koalisi—yang sejauh ini masih dalam pusaran tiga nama yakni, Anis Baswedan, Prabowo Subianto dan Gandjar Pranowo. Sementara Partai Nasdem telah memilih tiga kandidat yakni, Anis Baswedan, Gandjar Pranowo dan Jenderal Andika Perkasa.
Akan halnya para relawan, mereka pun sudah mulai menggeliat melancarkan strategi guna memuluskan jalan kandidatnya, dan apa boleh buat, sebentar lagi kita akan menyaksikan saling perang argument untuk menunjukkan bahwa masing-masing kandidat adalah yang terbaik dan pantas untuk memimpin Indonesia untuk periode Tahun 2024-2029.
Bagi masyarakat luas, agar kelak tidak salah memilih, maka penting untuk tidak tergiring aneka macam claim sepihak dari masing-masing tim pemenangan pasangan calon. Masyarakat pemilih mesti lebih cermat untuk menelaah bukti konkret dan data yang obyektif soal kandidat maupun kekuatan serta parpol yang mengusungnya, karena sewajarnya Presiden adalah mereka yang mampu memimpin menuju kehidupan yang lebih baik, bukan yang sesak dengan gimmick.
Sebab itu, memilih presiden bukanlah sekedar persoalan bagi-bagi sembako dan “uang jago”, lalu mencoblos di bilik suara, tapi proses yang memerlukan kecerdasan guna memilih pemimpin ideal yang menentukan arah masa depan bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Lalu presiden yang bagaimana yang kelak benar-benar memimpin dan bekerja sonder menebar gimmick? dalam Serat Sastra Gendhing dijelaskan perihal falsafah kepemimpinan yang diterapkan oleh Sultan Agung selama melaksanakan tugas sebagai raja di kasultanan Mataram. Dalam menjalankan kepemimpinannya Sultan Agung berpedoman pada tujuh amanah utama.
Pertama, Swadana Maharjeng Tursita yang memiliki arti bahwa pemimpin harus berilmu atau berintelektual tinggi, jujur, serta mampu menjalin komunikasi dengan bawahan maupun rakyatnya berdasarkan prinsip-prinsip kemandirian.
Dengan demikian, dalam Pilpres 2024 nanti kita perlu memilih pemimpin yang berilmu atau berintelektual tinggi, jujur, serta mampu menjalin komunikasi dengan baik, agar nantinya dalam mengambil setiap keputusan, presiden tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun karena telah memiliki pendirian yang kuat dan data-data pendukung yang akurat.
Kedua, Bahni Bahna Amurbeng Jurit yang memiliki arti bahwa seorang pemimpin hendaklah berada di depan untuk memberikan suri teladan kepada bawahan dan rakyatnya dalam membela kebenaran dan menegakkan keadilan. Terkait hal ini, dalam islam juga diajarkan bahwa keteladanan tak mungkin ada tanpa adanya sifat saleh yang terpatri dalam jiwa seorang pemimpin.
Untuk itu, dalam Pilpres 2024 nanti, kita harus memilih presiden yang bisa menjadi teladan kita dalam bertindak dan berperilaku. Jangan hanya yang pintar berjanji abal-abal, menebar aneka gimmick, berbicara dan beretorika tanpa ada tindakan konkret.
Ketiga, Rukti Setya Garba Rukmi memiliki arti bahwa seorang pemimpin harus memiliki tekad bulat di dalam menghimpun segala potensi yang dimiliki negara demi kemakmuran, kesejahteraan dan keluhuran martabat bangsa. Bukan hanya untuk kelompoknya saja.
Jadi, pilihlah seorang presiden yang tidak ragu dan labil, serta tidak mudah dipengaruhi pihak lain, terutama para cukong, dalam usaha mengoptimalkan potensi yang ada dalam negara. Tekad bulat bisa diidentikkan dengan sikap tegas, lugas, dan berani.
Keempat, Sripadayasih Krani yang memiliki arti bahwa seorang pemimpin harus memiliki tekad dalam menjaga sumber kesucian agama agar bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Hal ini dikarenakan agama adalah pondasi utama dalam pembentukan karakter dan moral masyarakat ideal. Apabila seorang pemimpin tidak mampu menjaga agama, maka rusaklah moral masyarakat karena tidak beradab dan tidak bermartabat. Dan akibatnya Negara juga akan hancur karena masyarakatnya yang rusak dan saling bermusuhan.
Maka, pilihlah presiden yang benar-benar menjunjung tinggi agama dan berpegang teguh pada agama. Janganlah memilih presiden yang hanya menjadikan agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan tanpa pernah mau mempelajari agama, mendalami agama dan mengamalkannya untuk kemaslahatan seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Kelima, Gaugana Hasta memiliki arti bahwa seorang pemimpin harus mengembangkan seni sastra, seni suara, seni musik, seni tari dan lainnya guna mengisi peradaban bangsa. Seperti halnya agama kesenian juga dapat membangun perdaban bangsa. Apabila seorang pemimpin tidak memperhatikan kesenian, maka lama-kelamaan kesenian akan hancur karena tidak berkembang, dan itu artinya peradaban bangsa juga telah mengalami kehancuran secara perlahan — lahan.
Maka, pilihlah presiden yang mencintai seni dan mampu mengembangkan seni, karena seni merupakan salah satu bentuk peradaban bangsa. Terlebih, kesenian juga bisa menjadi icon identitas bangsa sekaligus sarana memperkenalkan Negara indonesia ke kancah internasional.
Keenam, Stiranggana Cita memiliki pengertian bahwa seorang pemimpin harus berperan sebagai pelestari dan pengembang budaya, pelopor pencerahan ilmu, dan mampu mendatangkan kebahagiaan bagi rakyatnya. Hal itu karena budaya dan ilmu merupakan media untuk membangun karakter dan intelektual masyarakat.
Maka, pilihlah Presiden yang punya semangat melestarikan budaya serta menguasai ilmu pengetahuan, agar mampu membangun sumber daya manusia dengan baik. Karena jika sumber daya manusia baik, masyarakat memiliki karakter baik dan tingkat intelektual tinggi, maka Negara akan mengalami kemajuan dan perkembangan yang dasyat.
Ketujuh, Smara Bhumi Adi Manggala memiliki arti bahwa seorang pemimpin harus menjadi pelopor pemersatu dari pelbagai kepentingan yang berbeda-beda dan berperan menciptakan perdamaian di dunia.
Maka, pilihlah presiden yang berjiwa negarawan bukan berjiwa politisi, pedagang atau broker. Karena seorang negarawan akan memikirkan nasib bangsa dan generasi selanjutnya, sedangkan politisi, pedagang dan broker hanya memikirkan kepentingan pribadi atau kelompoknya yang sifatnya sesaat.
Selain itu, presiden yang ideal adalah presiden dengan para pengusung yang bisa membawa kesejukan di tengah-tengah rakyatnya bukan presiden yang memiliki sifat provokatif yang justru berpotensi untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa yang hanya berlandaskan kepentingan politik semata.
Jika kelak dari seluruh kandidat tak ada yang mememiliki kriteria seperti tujuh butir diatas, maka setidaknya kita tidak memilih yang berbuat jahat untuk berkuasa.
Jadi menurut saya yang pantas dipilih adalah… ah itu masih rahasia, nanti saja pada waktunya.(Pemimpin Redaksi).