Oleh Imam Trikarsohadi
Reformasi telah berproses selama 24 Tahun (Mei 1998-Mei 2022). Pertanyaanya, apakah kita telah sukses membangun kultur demokrasi? Atau jangan-jangan mulai bosan?, bagaimana dengan kadar kedaulatan rakyat, juga tentang tingkat kesejahteraannya?. Jawabnya bisa bermacam-macam, tergantung siapa yang jawab dan sedang berada di posisi apa sekarang?.
Yang jelas, demokrasi di Indonesia masih dihadapkan pelbagai tantangan yang serius. Apalagi, sikap demokratis berupa watak yang mengapresiasi perbedaan atau lebih mengedepankan prinsip inklusivitas, seolah semakin menipis dari waktu ke waktu.
Kritik dan kebencian personal seolah tak ada batas yang jelas, pun dalam meresponnya. Perbedaan masih acapkali dijadikan pemicu terjadinya gesekan sosial, bahkan konflik. Ini bisa dijadikan indikator sejauh mana keberhasilan demokrasi di Indonesia.
Karena pada hakikatnya, keberhasilan demokrasi adalah sejauh mana kebijakan dan praktek politik yang ada mampu menyumbang pada terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh atau sebanyak mungkin rakyat.
Tapi apa yang justru menonjol selama 24 Tahun reformasi? Jawabnya adalah gegap gempitanya praktik politik janji yang tak sungguh-sungguh berjanji, senyum yang dibuat-buat dan diperhitungkan, salam yang diproyeksikan, rangkulan tanpa niat bersahabat, dan seterusnya. Lalu yang terus menerus terjadi di berbagai level adalah praktik-praktik : bujuk rayu nan hampa, tipuan nan mencubit, ancaman nan medeni, dan juga suap menyuap sejak langkah pendahuluan.
Dengan demikian, maka relationship yang baik dan etis hanya ramai untuk diperbincangkan. Padahal, kekuasaan tak bisa dilepaskan dari perilaku yang secara sosial dianggap baik.
Ketika awal reformasi digulirkan, ada semacam kebutuhan bersama ihwal perbaikan tata kelolah hidup bersama sebagai bangsa, dan itu bagian dari keniscayaan politik. Sebab apa? Jawabnya karena politik lahir dari proses menyusun distribusi posisi dan kekuasaan.
Tapi kemudian, karena kekuasaan sangat terbatas, baik jangakuan, waktu dan jumlah orang yang mendapatkannya. Dan, kalau pun mendapatkannya, mayoritas tak kenal kata puas, maka kemudian niat berdemokrasi sebagaimana semangat awal reformasi jadi terlupakan, yang muncul kemudian adalah kecamuk persaingan dengan pelbagai cara, banting-membanting, cerca-mencerca, piting-memiting, serta saling memantik konflik terbuka maupun diam-diam.
Saking mabuknya, kita lantas tak sudi lagi belajar dari sejarah panjang manusia, bangsa dan negara lain bahwa jika situasi yang demikian dibiarkan; akan penuh resiko. Bisa jadi, bila abainya berjamaah, maka negeri ini bisa dirundung sengketa tak berkesudahan sebab “perkelahian” untuk berebut posisi dan kekuasaan.
Memang, dengan sistem demokrasi yang kita anut, maka apa boleh buat politik adalah proses guna memperbaiki masa depan, dan mereka yang ambil bagian dalam kompetisi selalu punya kemungkinan menang atau kalah. Maka, tak ada juara bertahan yang terus menerus.
Sebab itu, harus selalu tersedia stok solidaritas dan konsensus dari seluruh peserta. Sebagai sebuah bangsa kita selalu membutuhkan tali-temali yang menjaga dan memperkuat persatuan, kesetaraan, serta nilai-nilai yang diakui dan dihormati bersama. Sebab itu, dalam politik juga diperlukan upaya membangun kepercayaan.
Sudah banyak bangsa dan negara yang akhirnya pecah belah oleh sebab tata kelolah kekuasaan tidak diimplementasikan secara baik. Karena itu adalah wajar jika kita punya kekhawatiran yang laten bahwa politik-sebagai proses distribusi posisi dan kekuasaan, dapat memantik sesuatu yang destruktif.(Pemimpin Redaksi)