Sebab, salah satu hobby—yang kadang juga menjadi profresi sambilan, telah membawa saya untuk tiap bulan Ramadhan tiba, dan setiap memasuki pekan kedua—terlibat, memikirkan, merencanakan, merancang aksi, dan nyemplung dalam pusaran peduli fakir miskin dan yatim piatu.
Ini tak lantas membuat saya berbusung dada, justru dari kegiatan ini saya diam-diam mensyukuri bahwa dari sekadar hobby tarik suara — akhirnya berjumpa semakin banyak relasi yang punya kepedulian terhadap fakir miskin dan yatim piatu. Seperti biasanya, lantas, saya diam-diam memetik pelbagai pelajaran berguna.
Seperti diketahui, perintah berpuasa di bulan Ramadhan tak sekedar untuk mengendalikan hasrat makan, minum, bersenggama dan emosi. Sebab, nilai perintah itu, diantaranya terbingkai pendidikan agar menyebarkan kesadaran sosial dan memperluas wawasan manusia. Sebab itu, semakin tinggi perspektif intelektual seorang manusia, terutama intelektual rohaniah, maka akan semakin tinggi pula tingkat berpikirnya–yang lantas memudahkan baginya untuk keluar dari kegelapan ego yang hanya mementingkan diri sendiri.
Pondasi ini sangat berenergi guna membangun etos dan/ atau semangat kolektif yang secara simultan akan menguatkan jiwa individu, sehingga sifat individu akan menyatu dengan keloktifitas.
Solidaritas dalam ajaran Islam, dikaitkan dengan hubungan antara individu (Hablum Minannas) dan hubungan pada Tuhan (Hablum Minallah). Ajaran Islam mewajibkan manusia untuk saling membantu dan saling memperhatikan guna membangun tanggungjawab sosial yang telah disepakati. Kebajikan dan kerdermawanan mendasari prinsip-prinsip dalam kewajiban ini, sebab itu didalamnya ada peringatan tegas bahwa siapa pun dari Umat Islam yang tidak menaruh perhatian pada pelayanan masyarakat, ia tidak masuk sebagai muslim.
Lalu bagaimana dengan mereka yang justru mengganggu, mempersulit dan bikin susah masyarakat luas, terutama di bulan Ramadhan ? jawabnya, tidak menaruh perhatian saja tidak masuk dalam golongan muslim, apalagi yang bikin ruwet.
Prinsip mulia lainnya yang ditandaskan melalui puasa Ramadhan adalah persaudaraan diantara kaum muslimin, saling memberi manfaat dan nasihat baik, satu dengan yang lain. Hal ini menandaskan bahwa seorang muslim tidak boleh hidup hanya untuk diri sendiri saja serta mengabaikan kepentingan dan urusan orang lain. Ajaran Islam sangat menekankan terjalinnya ikatan persaudaraan diantara kaum muslimin, saling memperhatikan dan saling merasakan serta mendorong terlaksananya tanggungjawab sosial.
Memang, keimanan dan ketakwaan merupakan urusan privat dari dimensi vertikal sebuah ritual, tapi keimanan dan ketakwaan yang berkualitas tinggi juga mensyaratkan memiliki implikasi sosial. Sebab itu, perintah berpuasa di bulan Ramadhan bertujuan sebagai sarana untuk mengantarkan manusia ke derajat takwa dalam kesejatiannya–yang terkait erat dengan konsekeuansialnya; amal saleh.
Artinya, ibadah puasa Ramadhan bukan semata ritual pribadi semata, tapi juga sebagai sarana pelatihan pengendalian diri yang memiliki konsekuensial yang sangat penting ; memunculkan kondisi psikologis berupa kesadaran diri dalam wujud komitmen sosial.
Puasa Ramadhan, selain bermanfaat bagi kesehatan jasmani dan meredusir pelbagai penyakit, ia juga melatih rohani alias jiwa manusia agar lebih positif. Puasa mampu meningkatkan derajat perasaan (emotional quotient/EQ), dan secara psikologis—manusia tidak hanya diukur dari intelligence quotient (kecerdasan), tapi juga diukur dari EQ—karena ia berpengaruh dalam pembentukan sifat-sifat kedermawanan, sifat santun terhadap fakir miskin, rela berkorban, kasih sayang, rasa kepedulian, sifat sabar, sifat ikhlas dan sifat untuk selalu bersyukur. Sedangkan IQ berpengaruh terhadap bertambahnya kepercayaan diri, meningkatkan daya ingat dan daya nalar.
Karenanya, untuk meraih sukses besar, tidak cukup hanya mengandalkan satu jenis kecerdasan yang monolistis, tapi juga diperlukan spectrum kecerdasan yang luas dengan setidaknya tujuh varietas utama, yakni; kecakapan verbal, matematika, logika, pemahaman ruang, jenis kinestatik, bakat musik, kecakapan antar pribadi, dan kemampuan intrapsikis (intelegensi interpersonal).
Kecakapan antar pribadi mencakup kemampuan untuk menanggapi dengan tepat terkait suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat orang lain, serta memperhatikan perbedaan diantara yang lain. Hal tersebut merupakan kemampuan dasar yang harus dikembangkan, karena ini merupakan akses menuju aneka macam perasaan diri, serta memanfaatkannya untuk menuntun perilaku. Ketidakmampuan untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran secara tepat, akan berakibat munculnya tindakan brutal dan agresif yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Kemampuan yang juga perlu dikembangkan lewat puasa Ramadhan guna meningkakan kecerdasan antar pribadi adalah kemampuan mengerti orang lain yang meliputi; kemampuan mengerti perasaan, suasana, keinginan, serta kebutuhan orang lain. Kemampuan ini lazim disebut empati, dan untuk memahaminya dibutuhkan kemampuan membaca non verbal, seperti; nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah dan lainnya.
Apa boleh buat, empati merupakan salah satu aspek dari kecerdasan emosi yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi diri sendiri maupun orang lain, memilah dan memilih informasi, lalu menggunakannya untuk membimbing pikiran dan tindakan agar lebih konstruktif. (Imam Trikarsohadi – Pemimpin Redaksi)