BATAM- Merdeka !!!. Kata itu yang akrab dengan kita setiap Agustus. Memasuki bulan Agustus merupakan bulan yang penuh dengan nuansa puncak nasionalisme. Karena bulan Agustus terdapat satu hari terpenting dalam sejarah negara kita yaitu, Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, yang jatuh pada tanggal 17 Agustus. Dan tahun ini usia Negara kita memasuki 75 tahun merdeka.
Kemerdekaan sendiri mempunyai arti yang sangat individual, karena persepsi merdeka setiap orang akan berbeda satu dengan yang lain. Ada merdeka hak asasi mengeluarkan pendapat, merdeka belajar, merdeka beragama, merdeka dari penjajah, merdeka dari kebodohan, merdeka dari kemiskinan, merdeka dari tekanan yang tidak diinginkan oleh setiap individu.
Pada jaman dahulu, para pejuang memberikan contoh yang luar biasa dalam karakter bangsa Indonesia, di mana pada saat negara dalam keadaan terjajah para pejuang bersatu untuk mendapatkan kemerdekaan, lepas dari cengkeraman penjajah. Bersatu tanpa melihat perbedaan suku, agama, ras, budaya, dan asal atau daerah, sehingga muncul kekuatan yang luar biasa hingga tercapailah kemerdekaan ini, dan terlepas dari cengkeraman penjajah yang sudah 350 tahun lamanya.
Teringat kalimat sakti Ir. Soekarno, “ Beriaku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.”, Presiden Pertama kita mengisyaratkan bahwa pemuda (termasuk pemudi, pastinya) merupakan asset sebagai agent of change dari sebuah negara. Termasuk di dalamnya anak-anak didik kita pastinya, penerus bangsa.
Namun 10 pemuda yang dimaksud Sang Proklamator itu pastilah pemuda yang di dadanya dipenuhin gelora cinta tanah air yang luar biasa. Tetapi bagaimana kondisi anak-anak kita yang hampir minim rasa nasionalismenya? Yang kita dibuat cukup prihatin bila melihat nasionalisme yang dikobarkan Sang Proklamator kita, kian menyusut di dalam jiwa anak-anak didik kita. Anak-anak kita lebih cenderung bangga dengan segala yang berbau “kebarat-baratan”. Mereka lebih bangga dengan bercerita film barat, music barat, makanan ala barat, fasion dari barat dan segala sesuatu yang berasal dari dunia barat.
Bahkan melihat anak-anak kita sekarang tidak mengenal pahlawan, tidak mengetahui sejarah, tidak dibekali dengan pengetahuan yang mengobarkan jiwa nasionalisme, membuat mereka tumbuh dalam karakter yang masa bodoh terhadap lingkungan apalagi negaranya. Pendidikan kita juga kurang membekali anak-anak kita dengan Pendidikan Bela Negara dan jiwa nasionalisme. Pada intinya memang harus ada keharmonisan yang nyata semangat nasionalisme dalam pendidikan kita. Bukan hanya tentang nilai akademik semata. Pendidikan tentang sejarah Bangsa kita juga sangat sedikit dibahas dalam Kurikulum sekolah. Hal ini menjadi kontribusi yang berperan dalam menipisnya nasionalisme anak-anak kita.
Sebenarnya dalam Kurikulum Sekolah ada mata pelajaran PKN ( Pendidikan Kewarganegaraan ) yang memiliki peran strategis dalam membentuk anak anak didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945
Penerapan pembelajaran Kewarganenaraan secara kontekstual juga membantu dalam hal ini.
Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi di dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Depdiknas, 2002).
Menurut Suherman (2003) pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan mengambil (mempraktekkan, menceritakan, berdialog, atau tanya jawab) kejadian pada dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa kemudian diangkat ke dalam konsep yang dibahas. Sedangkan menurut Johnson (2008) pembelajaran kontekstual adalah suatu konsep tentang pembelajaran yang membantu guru-guru untuk menghubungkan isi bahan ajar dengan situasi dunia nyata serta penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja serta terlibat aktif dalam kegiatan belajar yang dituntut dalam pelajaran. Hanya terkadang anak-anak kita terbiasa membaca tanpa mencerna stelah itu, hilang tanpa aplikasi di kehidupan. Di bulan Agustus momen yang tepat untuk mengingatkan tentang nasionalisme anak-anak dalam dirinya, sayangnya sekarang masih masa pandemic.
Di masa pandemic ini, bagaimana bentuk visualisasi nasionalisme kita ? Karena social distancing dan physical distancing kita tidak dapat melakukan perayaan HUT RI ke-75 tahun ini dengan berbagai kegiatan di sekolah-sekolah, kantor ataupun di masyarakat dengan lomba-lomba seperti biasa. Solusinya untuk mengisi kemerdekaan dan memperingati HUT RI kita dapat melakukan kegiatan atau aktivitas secara virtual, seperti : lomba membuat puisi, video kebangsaan, karya photografi, atau karya seni tari yang mengangkat tema nasionalisme atau patriotism, lukisan dan segala yang bertema kemerdekaan atau nasionalisme.
Paling tidak anak-anak kita sebagai gereasi muda akan tetap tertanamkan dan terpelihara rasa nasionalisme dalam dirinya melalui didikan kita di sekolah dan diaplikasikan dalam karya-karya mereka. Mengingatkan mereka tentang perjuangan para pahlawan yang sudah merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Tanamkan dalam diri anak-anak didik kita bahwa dengan semangat nasionalisme kita mengisi kemerdekaan dengan terus memperbaiki karakter positif dan berprestasi serta berkarya dengan kompetensi yang ada dalam diri kita masing-masing.
Penanaman nasionalisme dalam jiwa anak-anak didik kita merupakan tanggung jawab bersama, karena ini merupakan bagian dari pendidikan karakter, seperti yang tertuang dalam UU SISDIKNAS.
Menurut UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003, bahwa Tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Senada dengan UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter hadir dengan pertimbangan bahwa dalam rangka mewujudkan bangsa yang berbudaya melalui penguatan nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab, pemerintah memandang perlu penguatan pendidikan karakter.
Pada dasarnya hamonisasi antara nasionalisme dan pendidikan harus selaras. Apalagi dalam masa pandemic seperti ini, dibutuhkan rasa empati yang tinggi, tanpa melihat perbedaan ras, agama, pangkat, golongan, karena ujian wabah Covid ini akan kita hadapi sama-sama. Dan kepada anak-anak didik kita tanamkan empati yang dalam agar melekat sifat persaudaraan sebangsa dan setanah air. Saling bantu dan bahu membahu mengatasi kondisi ini.
Kurikulum Darurat Covid dapat diterapkan dengan baik dan berhasil apabila kita mempunyai persepsi yang sama tentang kepedulian dan empati sesama, saling menguatkan satu sama lain.
Diakhir tulisan, penulis ingin mengutip pendapat dari Prof. Sulistyo Saputro, M.Si., Ph.D, Kemerdekaan adalah kebebasan untuk berkarya dan berinovasi untuk kehidupan yang lebih baik tanpa tekanan atau ancaman pihak manapun. Kebebasan berkarya tanpa ada tekanan akan melahirkan hasil terbaik dibidangnya, karena kebebasan berekplorasi dalam berkarya dilindungi. Begitu juga dalam berinovasi, ketika kita terbebas ( baca: merdeka ) dari tekanan atau ancaman maka akan muncul ide-ide yang cemerlang tanpa ketakutan akan muncul efek negative dari inovasi yang diciptakan. Contoh Guru-guru saat ini dapat berinovasi dengan pembelajaran daring dengan berbagai aplikasi yang ada dan muncul produk pemebalajaran yang kreatif. Kekratifan dan inovasi yang dilandasi dengan karakter positif. Dan masih menurut Prof. Sulistyo Saputro, M.Si., Ph.D, bahwa pendidikan mutlak tidak boleh terpisah dengan semangat nasionalisme.
Senada dengan Prof. Sulistyo Saputro, M.Si., Ph.D, bahwa Dr. Tri Murwaningsih, M. Si, mengatakan bahwa kemerdekaan adalah kebebasan yang bertanggungjawab, dimana dalam menggunakan kebebasannya tetap pada nilai-nilai karakter dan aturan hukum, aturan etika, dan aturan social yang ada dalam masyarakat bernegara. Tetap pada koridor menjunjung tinggi nasionalisme.
Dengan semangat nasionelisme dalam pendidikan, kita harapkan anak-anak didik kita akan tumbuh dan berkembang dengan karakter yang mulia, kuat dan menjadi calon pemimpin bangsa yang disegani lawan dan kawan. Aamiin.
Penulis : Dr. Sarmini, S.Pd.,MM.Pd (Direktur Pendidikan Sekolah islam Nabilah Batam/ Dosen Universitas Batam /Dosen Universitas Ibnu Sina Batam).