Ketika kita melihat ada anak-anak dihadapan kita dan kita mengamatinya beberapa lamanya, maka kita akan temukan dari pengamatan kita bahwa anak-anak tersebut berbeda satu sama lainnya. Ekspresi, gerak tubuh, sikap atau reaksi yang timbul ketika menghadapi sesuatu juga berbeda. Dan itu tidak muncul begitu saja tetapi utuh waktu yang panjang hingga muncul dipermukaan sebagai sifat/karakter.
Apa itu karakter ?
Menurut KI Hadjar Dewantara (2011:25), “memandang karakter sebagai watak atau budi pekerti”. Penadapat lain dikemukakan oleh Suyanto dalam Agus dan Hamrin (2012:43) “karakter adalah cara berpikir dan berprilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara”.
Kemudian menurut Tadkiroatun Musfiroh dalam Agus dan Hamrin (2012:43) “karakter itu mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills)”. Sedangkan menurut Kemendiknas dalam Agus dan Hamrin (2012:44) “karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan , yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak”.
Sedangkan karakter yang tampak pada perbuatan adan perkataan seorang anak bukan merupakan hal yang instan begitu saja. Hal ini tak luput dari peran orang tua anak sebagai penulis handal di kertas putihnya. Warna-warna cenderung ceria atau warna-warna cenderung kelabu yang dicoretkan orang tua di masa Golden Age nya akan tampak dihidupnya nanti.
Muncul sebagai mendung ataukan muncul sebagai pelangi, peran orang tua besar sekali. Dan inilah pentingnya pola asuh orang tua dalam memebentuk pola pikir anak nantinya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1088) bahwa “pola adalah model, sistem, atau cara kerja”, Asuh adalah “menjaga, merawat, mendidik, membimbing, membantu, melatih, dan sebagainya” Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:96).
Gunarsa (2000:44) mengemukakan bahwa “Pola asuh tidak lain merupakan metode atau cara yang dipilih pendidik dalam mendidik anak-anaknya yang meliputi bagaimana pendidik memperlakukan anak didiknya.
Casmini (dalam Palupi, 2007:3) menyebutkan bahwa: Pola asuh sendiri memiliki definisi bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan, hingga kepada upaya pembentukan norma-norma yang diharapkan oleh masyarakat pada umumnya.
Dalam teorinya Jhon Locke mengatakan bahwa bayi dilahirkan dalam keadaan kosong (seperti kertas putih bersih) dan pengalaman dari lingkungan luar akan mempengaruhi dan membuatnya berkembang.
Seorang ahli yaitu dr. Baumrind, mengemukakan bahwa ada 3 macam pola asuh orang tua yaitu demokratis, otoriter dan permisif.
a.Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu dalam mengendalikan mereka. Pada pola asuh ini orang tua biasanya akan bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. (Ira Petranto, 2005).
b.Otoriter
Sangat bertentangan dengan pola asuh demokratis , pada pola asuh ini sebaliknya cenderung orang tua harus dituruti, disertai dengan ancaman-ancaman mislalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tuayang menerapkan pola asuh ini cenderung memaksa, memerintah dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam berkomunikasi biasanya bersifat satu arah. (Ira Petranto, 2005).
c.Permisif
Berbeda lagi dengan Pola asuh Permisif memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan dan mengambil keputusan tanpa adanya pantauan dari orang tua. Cenderung membebaskan anak apabila anak sedang dalam bahaya dan sangat sedikit arahan atau nasehat serta bimbingan yang diberikan kepada anak, sehingga seringkali disukai oleh anak. (Ira Petranto, 2005).
Sedangkan puluhan abad yang silam Rasulullah SAW juga bersabda pada sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., : tidak ada seorang manusia yang terlahir kecuali dia terlahir atas fitrah (kesucian seperti tabula rasa, kertas yang belum ditulis apapun, masih putih). Maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Dikutip dari DalamIslam.com, beliau memberikan contoh yang baik dalam mendidik anak. Nabi Muhammad dikenal sebagai sosok yang penyayang dan penyabar. Ia tidak pernah membentak anak namun juga tegas dalam urusan agama.
Faktor Utama yang Mempengaruhi Pola Asuh
- Budaya
Orang tua mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua merasa bahwa orang tua mereka berhasil mendidik mereka dengan baik, maka mereka menggunakan teknik yang serupa dalam mendidik anak asuh mereka.
- Pendidikan Orang Tua
Orang tua yang memiliki pengetahuan lebih banyak dalam mengasuh anak, maka akan mengerti kebutuhan anak.
- Status social ekonomi
Orang tua dari kelas menengah rendah cenderung lebih keras/lebih permessif dalam mengasuh anak (Hurlock, E,B 2002).
Segala yang diterapkan orang tua di masa pertumbuhan anak mulai dari kecil, balita, anak-anak, masa remaja hingga si anak dewasa akan terpatri di memori si anak. Anak ibarat fotocopy orang tua dan orang di sekitarnya, apa yang dilihat, didengar serta dialami maka kita harus hati-hati dalam memberikan pola asuh yang tepat terhadap anak-anak kita.
Pola asuh yang baik akan muncul dalam pribadi dan karakter yang baik pula dan akhirnya menjelma menjadi pola pikir yang baik dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Anak yang terbiasa di bawah pengasuhan orang tua dengan pola asuh otoriter contohnya, dia kemungkinan besar akan mempunyai pola pikir yang tidak jauh dari otoriter, karena pengalamannya dalam kehidupan mengajarkannya seperti itu. Begitu juga dengan akan yang mendapatkan pola asuh demokratik, dia akan tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang mempunyai pola pikir untuk mendengarkan pendapat orang lain, menghormati serta memberi ruang yang luas untuk bekerjasama dalam pengambilan keputusan. Lebih menjadi pribadi yang menarik karena keluwesannya dalam bersikap dan bijak dalam berkata dan berbuat. Pribadi yang seperti inilah yang diharapkan banyak tumbuh pada anak-anak kita.
Sedangkan anak-anak yang tumbuh di lingkungan keluarga dalam pengasuhan gaya pola asuh permisif akan tumbuh menjadi anak yang pola pikirnya bebas, minim aturan dan terkesan semau gue. Anak ini akan mempunyai pola pikir masing –masing orang dengan urusannya sendiri sehingga akan susah tumbuh simpati apalagi empati kepada lingkungan sekitar.
Perpaduan dari dari pola otoriter dan pola permisif adalah paling ideal yaitu demokratis, di mana pola asuh tersebut mampu menjadi rem terbaik supaya orang tua tidak terlalu mengekang anak tanpa penjelasan dan tidak terlalu membebaskan tanpa aturan yang belaku. Seperti yang diterapkan Rosulullah SAW, dalam pola asuhnya sangat denokratis yang member ruang yang cukup untuk kasih sayangnya dan memberi edukasi di setiap solusi yang diebrikan kepada anak apabila ada permasalahan, sehingga anak merasa dihargai tetapi tetap dibimbing tanpa kehilangan keakuannya.
#Semoga apa yang menjadi paparan penulis bermanfaat untuk diri penulis sendiri dan untuk pembaca pada umumnya.
Penulis : Dr. Sarmini, S.Pd.,MM.Pd (Direktur Sekolah Islam Nabilah, Batam)