Bekasi Selatan- Sejumlah jurnalis di Kota Bekasi yang tergabung dalam Rukun Jurnalis (Rujuk) memperingati Hari Pers Nasional (HPN) dengan menggelar aksi tutup mulut sebagai simbol penolakan atas kebijakan verifikasi media massa yang dilakukan Dewan Pers, di Jalan Ahmad Yani (Exit Tol Bekasi Barat), Kamis (09/02) sore.
Aksi sejumlah wartawan gabungan dari media cetak dan online yang bertugas di Kota Bekasi sempat mengundang perhatian para pengguna jalan lantaran dilakukan dengan memblokade jalan Ahmad Yani. Meski sempat menimbulkan kemacetan, namun aksi berjalan tertib.
Koordinator Aksi, Syahrul Ramadhan mengatakan, verifikasi media massa yang dilakukan oleh Dewan Pers menurutnya merupakan upaya untuk membungkam kebebasan pers dan bertolak belakang dengan semangat kebebasan pers itu sendiri. Dengan adanya verifikasi, kata dia, kebebasan pers Indonesia akan mundur ke belakang sama seperti pada era Orde Baru (Orba).
“Kami melihat ada upaya pembungkaman terhadap kebabasan pers yang coba dilakukan oleh penguasa secara sistemis dan masif yang tentu mesti kita tolak,” ujar Syahrul atau akrab disapa Buluk kepada wartawan pada Kamis (09/02).
Syahrul juga mencium aroma tidak sedap dengan penerapan kebijakan verifikasi Dewan Pers, yang menurutnya bisa berujung pada upaya bredel media massa.
“Pertama-tama dilakukan verifikasi. Setelah verifikasi nantinya akan ada pencabutan verifikasi tersebut bagi media massa yang tidak sejalan dengan penguasa,” terang Buluk.
Buluk juga mengkritik keras Dewan Pers yang seolah-olah menjadi alat penguasa untuk membungkam kebebasan pers. Padahal semestinya, keberadaan Dewan Pers memperkuat posisi pers bukan justru melemahkan.
“Dewan Pers belum memperlihatkan kalau mereka bagian dari kami. Mereka justru menampilkan muka yang berbeda yang bertolak belakang,” kata dia.
Ia juga menilai, sejauh ini Dewan Pers belum pernah mengeluarkan kebijakan yang memberikan keuntungan bagi pers dan para jurnalis.
“Mereka tidak pernah berifikir soal nasib wartawan. Apa pernah mereka bicara soal upah layak para kuli tinta, memperjuangkan nasib kami. Tidak pernah,” kecam Buluk.
Verifikasi Dewan Pers secara tidak langsung juga mengancam eksitensi media-media lokal itu sendiri. Media lokal kata dia, akan terkena dampak paling signifikan dengan penerapan kebijakan tersebut.
“Yang nanti mati ya media-media lokal. Syarat yang ketat akan membuat media lokal sulit memenuhi standar yang dibebankan dewan pers,” tandasnya.
Padahal kata dia, keberadaan media lokal sangat diperlukan dalam rezim otonomi daerah dewasa ini. “Kalau media lokal tidak ada di daerah-daerah, nasib otonomi daerah kian suram. Korupsi makin merebak karena tidak adanya kontrol,” kata dia.
Dan yang paling memprihatinkan, Dewan Pers hari ini tidak bisa membedakan mana Pers dan Perusahaan Pers yang keduanya tidak bisa dicampur aduk.
“Perusahaan pers itu bicara soal bisnis sehingga memang perlu adanya badan hukum. Sedang pers murni tidak sama dengan itu. Pers murni bicara soal aktifitas jurnalistik, semua bisa melakukan aktifitas tersebut terlepas berbadan hukum atau tidak. Selama taat kepada kode etik jurnalistik itu tidak masalah,” tuturnya.
Lebih lanjut, Ia juga mengultimatum agar Dewan Pers segera membatalkan kebijakan tersebut. Sebab jika tidak, ia akan menggalang kekuatan para pekerja pers di daerah-daerah untuk melakukan aksi besar-besaran menolak kebijakan tersebut.
“Kami sudah menjalin kontak dengan anak-anak di daerah. Mereka semua siap aksi besar-besaran kalau Dewan Pers tetap ngotot mengeluarkan kebijakan tersebut,” pungkasnya.