SEPERTINYA waktu berjalan demikian cepat berjalan. Serasa baru kemarin kami datang ke tanah suci ini, eh besok kami sudah harus balik ke tanah air. Petugas kloter sudah beberapa kali mengumumkan agar bersiap-siap.
Hanya saja, sebelum itu ada rangkaian ibadah yang wajib. Ibadah terakhir di masjidil haram.
Kami berencana mau ‘pamitan’ dulu ke ka’bah. Satu rangkaian ibadah wajib yang dilakukan melalui tawaf wada’, atau tawaf pamitan. Ini tawaf yang berat, bukan secara fisik, tetapi lebih secara psykis.
Kondisi saat itu, jamaah haji yang di masjidil haram sudah makin berkurang. Meski dibilang sepi, tapi tetap saja masih ada desakan-desakan.
Kami mulai mengambil posisi ‘start’ di lampu biru, berniat melakukan tawaf wada’.
Perasaan kami sebenarnya dag dig dug juga. Bagaimana tidak, setelah sebulan lebih kami bolak-balik ke masjid di sini, lalu kemudian kami akan berpisah. kami akan pamitan mengucapkan selamat tinggal.
Ketika hampir satu putaran, kami mulai merasakan getaran perasaan yang sulit dijelaskan. Percaya tidak, meski masih di sini, tetapi kerinduan itu sudah muncul. meski masih di depannya, tetapi kami sudah kangen.
Dan ternyata, setelah saya perhatikan, hampir semua jamaah yang tengah melakukan tawaf wada juga sama. Mereka juga mimbik-mimbik. Air matanya menggenang.
Mungkin yang terberat adalah mengucapkan selamat tinggal kepada Baitullah. Sehingga mereka tak kuat saat menyampaikan pesan pamitan ini. Ada yang memilih menunduk, atau ada yang menatap lurus ke depan tak berani menoleh kabah. Atau bahkan ada yang justru menatap kabah selama perputaran tawaf.
Memang memandang ka’bah saja itu berpahala. Saya pernah duduk di lantai dua persis menghadap kabah. Hanya ingin berlama-lama menatapnya. Setiap sudut saya perhatikan. Juga mencoba membaca kaligrafi yang ditulis di kiswah. Ah… Jadi kangen.
Dalam hati kami juga sempat berfikir, bagaimana bisa ya bangunan yang secara lahiriyah begini saja tapi bisa membuat semua jamaah yang datang menangis. Bagaimana bisa? Ini pasti karena kekuasaan Allah… Ada bantuan Nya.
Ya Allah jadikan setiap langkah kami dalam tawaf wada ini adalah permohonan ampunan mu, adalah rasa syukur kami.
Getaran hati ini lebih berasa saat putaran terakhir, putaran ke tujuh. Kami semua berusaha agar lebih khusyuk, menyampaikan pesan dan doa.
‘Ya Allah, ini putaran terakhir kami. maka ampunilah kami, ampunilah jika selama kami menjadi tamu di sini tak bisa menjadi tamu yang baik. Ampunilah kami, dan terimalah haji kami, dan jadikan haji kami haji yang mabrur.’
“Ya Allah, jadikanlah ibadah haji kami menjadi haji yang mabrur, sa’i yang diterima, dosa yang diampuni dan amal shaleh yang dikabulkan dan perdagangan yang tidak akan mengalami rugi selamanya. Wahai Tuhan Yang Maha Mengetahui apa-apa yang terkandung dalam dada. Keluarkanlah aku dari kegelapan ke cahaya yang terang benderang. Ya Allah aku mohon pada-Mu segala hal yang mendatangkan rahmat-Mu dan segala ampunan-Mu selamat dari segala dosa dan beruntung dengan mendapat rupa-rupa kebaikan, beruntung memperoleh surga, terhindar dari neraka. Tuhanku anugerahkan padaku dan gantilah apa-apa yang aku luput daripadanya dengan kebajikan dari-Mu.”
Sekali lagi kami tatap Baitullah, ‘saya pamit.’ Sambil menguatkan langkah keluar dari area tawaf.
Kami menyaksikan ada jamaah yang berjalan mundur, menangis dan sambil melambaikan tangan.
Yah prosesi haji sudah selesai, dan giliran kami akan pulang ke tanah air. alhamdulillah….
Kota Bekasi, 19 Juni 2025
Chotim Wibowo (IPHI Kota Bekasi)