SELEPAS wuquf, kami mulai beranjak ke Muzdlifah di malam harinya. Jarak sekitar 10 km ditempuh dengan naik bis. Turun dan mengambil kerikil. Ah, kangen.
Satu kloter kami nyaris tak terpisah. Saat itu memang lagi enak dan nyaman proses haji ini. Setelah beristirahat dan menunggu bis jemputan datang. Praktis tak ada kendala. Petugas kloter demikian cekatan.
Begitu bis akan sampai di muzdalifah, kami segera digeser berkumpul di satu gerbang. Dan benar, bis datang sebanyak jumlah kloter. Tak berebutan, Meski ada yang justru pengurus KBIH yang berusaha memilih bis agar jamaahnya bersatu. Tapi khan malah merepotkan yang mandiri?
Alhamdulillah. Bis sudah bergerak ke Mina. Menembus jamaah yang berjalan kaki. Sampai ke Mina menjelang subuh. Mencari tenda, meletakkan perbekalan berupa obat-obatan jamaah. Shalat subuh dan langsung berjalan ke Jamarat saat cuaca masih pagi. Sesuai jadual yang diberikan muassasah.
Jalan kaki lumayan jauh. Jamaah memang penuh. Tapi masih bisa bergerak. Melalui terowongan Almuashim. Sambil mengenang di terowongan ini pernah terjadi musibah dengan korban ribuan jamaah, Saat itu terowongan belum dipisah menjadi dua.
Panjang terowongan sekitar 1 kilometer dipenuhi dengan kalimah takbir dan kalimah talbiyah dari jamaah. Menggema. Suara blower besar di atap terowongan mengingatkan suara mesin pesawat. Kencang sekali sedotan udaranya.
Sekeluar terowongan kami masih harus berjalan sekitar satu dua kilometer untuk sampai di jamarat. Subhanallah. Lancar.
Sambil membayangkan kisah Nabi Ibrahim yang mengusir syetan agar menggagalkan ketaatan. Bismillahi Allahu Akbar. Kami melontar kerikil yang kami bawa dari Muzdalifah. Tujuh kali setiap Jamarat.
“Kami kembali ke tenda di Mina, Melalui rute semula dari sisi berbeda. Melalui terowongan dan berjalan mencari tenda maktab kami,”
Sambil menunggu waktu tanggal 12 Dzulhijjah untuk melontar yang kedua. Kami berusaha selalu membantu jamaah. Baik yang sakit dengan mengantarkan obat. Dan juga membantu jamaah yang tersesat.
Biasanya jamaah, terutama yang lansia, akan keder ketika ke toilet umum. Pasalnya, semua tenda itu sama. Pembedanya hanya nomer tenda yang sesuai dengan maktab, Biasanya, mereka bisa bingung saat akan kembali karena tidak bisa membedakan tenda.
Pada hari kedua kami menjalani lontaran jamarat dengan waktu yang sama. Sebenarya kami diberi keleluasaan memilih waktu. Apakah pagi atau siang, atau menjelang subuh. Memang afdalnya adalah waktu dhuha. Tetapi saat ini sangat-sangat padat, sehingga dianjurkan untuk memilih sebelum atau setelah dhuha. Alhamdulillah. Lancar lagi.
Sebagian jamaah kami ada yang kemudian tanazul. Memilih nafar tsani kemudian langsung ke Mekah. Tetapi kebanyakan kami memilih nafar tsani. Menyempurnakan lontaran sampai 3 hari, kemduian nanti baru ke Mekah.
Di mekah jamaah langsung melakukan tawaf ifadhah dan Sai. Setelah itu tahallul, atau memotong rambut. Dan…. selesailah ritual haji.
Setelah tahallul, kami sudah boleh melepaskan ihram. Ya Allah…
Saat ini, ketika mendengarkan banyak kendala saat di Arafah sampai ke Mina, kami hanya bisa berharap semoga para jamaah haji diberi kesehatan dan kelancaran. Agar haji Mabrur. Amien. (*)
Bekasi, 07 Juni 2025
Penulis : Chotim Wibowo (IPHI Kota Bekasi