Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Esai

Menjemput Kembali Kejayaan Padi dan Gula Jawa

×

Menjemput Kembali Kejayaan Padi dan Gula Jawa

Sebarkan artikel ini
Gula Merah (Gula Jawa). Photo: Istimewa

Zaman terus maju, teknologi berkembang pesat, gaya hidup kian modern. Namun, ironisnya, kemajuan itu justru menggerus warisan berharga yang dulu menjadi nafas kehidupan desa: padi dan gula Jawa.

Dulu, lumbung padi penuh, hasil sawah melimpah. Dulu, gula Jawa atau yang akrab disebut gula merah mudah ditemukan di pasar dengan harga murah karena produksinya berlimpah. Kini? Ceritanya berbalik. Hasil panen berkurang, gula Jawa kian langka, dan harga melambung tinggi.

Scroll Ke Bawah Untuk Melanjutkan
Advertisement

Mengapa ini terjadi? Jawabannya sederhana, namun menyakitkan. Penerus petani makin sedikit. Anak muda desa banyak yang enggan mengikat hidup di sawah. Ada yang gengsi, ada pula yang memilih merantau ke kota, berharap pekerjaan yang dianggap lebih bergengsi. Sementara itu, para petani dan penderes kelapa yang tersisa, kian renta dimakan usia.

Padahal, ada kenangan indah yang dulu begitu lekat. Dalam satu desa, hampir seluruh dapur rumah terlihat “ngebul”, tanda sedang “indel” dalam bahasa Jawa Banyumas artinya sedang proses masak membuat gula Jawa. “Dulu hampir seluruh dapur desa ngebul tanda membuat gula Jawa, kini hanya bisa dihitung dengan jari.” Kini, keadaan sangat berbeda.

Jaman dulu, ketika penderes masih banyak, ada tanda yang jelas terlihat. “Pohon kelapa yang disadap buahnya sedikit, sementara kini buah kelapa melimpah karena sudah jarang yang menderes.” Inilah yang membuat gula Jawa kian langka. Tak jarang di desa-desa penghasil gula Jawa, tiap pohon kelapa berbuah lebat bukan karena subur semata, melainkan karena sudah tidak ada lagi penerus yang bisa memanjat. Sementara para penderes tua sudah tak mampu, bahkan banyak yang sudah meninggal dunia.

Parahnya lagi, petani dan penderes yang masih bertahan sering harus berhadapan dengan permainan tengkulak. “Sudah hasilnya sedikit, harga pun dipermainkan sesuka hati.” Inilah yang membuat mereka semakin terjepit dan generasi penerus semakin enggan melanjutkan tradisi.

Padahal, saat ini sudah banyak cara untuk meningkatkan hasil pertanian. Teknologi bercocok tanam semakin maju, pupuk semakin berkualitas, dan teknik pengelolaan sawah pun semakin modern. Jika dimanfaatkan, semua itu bisa menghasilkan panen yang jauh lebih baik dibanding masa lalu.

Bahkan soal penjualan, generasi sekarang sebenarnya lebih dimudahkan. Kita hidup di era digital, di mana hasil tani bisa dipasarkan hanya dengan genggaman tangan melalui aplikasi di ponsel. “Dengan teknologi, anak muda bisa tetap di desa tapi berpenghasilan kota.” Lebih dari itu, kreativitas membuka ruang tanpa batas. Padi dan gula Jawa bisa dipasarkan melalui berbagai platform media sosial, dikemas lebih menarik, dijangkau oleh pembeli dari mana saja.

Dengan kata lain, masalah kita bukan semata pada alam atau keadaan. “Masalahnya bukan pada alam, tapi pada kita yang enggan kembali ke sawah dan pohon kelapa.” Sampai kapan pola pikir seperti ini bertahan? Perubahan hanya akan datang bila kita sendiri yang mau berubah.

Kejayaan gula Jawa pernah mencapai puncaknya pada 1990-an. Saat itu, hasil panen berlimpah, harga murah, dan desa hidup makmur. Kini, masa itu memang tinggal kenangan. Tetapi bukan berarti mustahil untuk kembali.

Jawabannya ada di generasi muda. Jika mereka mau turun tangan, mau belajar, dan mau memanfaatkan teknologi modern, maka desa bisa kembali berjaya.

Karena sejatinya, gula Jawa bukan sekadar pemanis. Ia adalah manisnya kerja keras, manisnya kebersamaan desa, dan manisnya warisan budaya yang tak boleh hilang ditelan zaman.

Kini saatnya anak muda bertahan dan membangun desa. Sawah tetap digarap, pohon kelapa terus dipanjat, dan kejayaan gula Jawa dihidupkan kembali. Karena hanya dengan membangun desa, kita bisa menjaga warisan sekaligus menciptakan masa depan yang lebih manis.

Example 120x600
Esai

“Wahai Rasulullah, tanaman kita pada rusak, dan jalan-jalan (perekonomian) putus. Maka tolonglah kami, doakan agar hujan segera turun,” katanya.

Esai

“Terimakasih. Semoga kita bisa menjaga haji ini agar mabrur sepanjang hayat,” bisik kami.

Esai

‘Ya Allah, ini putaran terakhir kami. maka ampunilah kami, ampunilah jika selama kami menjadi tamu di sini tak bisa menjadi tamu yang baik. Ampunilah kami, dan terimalah haji kami, dan jadikan haji kami haji yang mabrur.’