PERNAHKAH kita membayangkan Al-Qur’an dengan Bahasa Isyarat? Bagaimana bentuk dan urgensi sehingga Al-Qur’an itu dibutuhkan? Dan banyak pertanyaan yang terlintas dalam fikiran, sehingga hal itu tersampaikan.
Ini muncul dalam Bedah Buku ‘Amatullah Basiimah; berdamai dengan sunyi’ yang digelar di Institut Bisnis Muhammadiyah, Bekasi, Kamis, 03 Oktober 2024.
Ada terlintas saat seorang dengan keadaan tuli, lalu bagaimana dia ‘memenuhi’ kebutuhannya dalam beragama, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan kitab suci Al-Qur’an. Ketika salah satu ‘produk’ Al-Qur’an itu berupa ‘suara’, sementara instrumen pendengarannya tidak ada.
Sementara, fungsi kitab suci adalah sebagai ‘hudan’ (petunjuk) bagi semua manusia. Semua manusia itu -pasti- termasuk kaum tuli. Bagaimana mereka bisa secara sempurna menerima hudan sementara instrumen pendengarannya terbatas, atau bahkan tidak ada.
Disinilah kemudian esensi keberadaan Al-Qur’an dengan bahasa isyarat ini dibutuhkan. Pihak Kementrian Agama melalui Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) mengeluarkan Al-Qur’an Isyarat. Al-Qur’an dengan format bahasa isyarat.
Bagi kita yang ‘normal’ bisa jadi selama ini tidak terpikirkan. Kemukjizatan Al-Qur’an bisa dinikmati semua manusia, termasuk bagi sesama kita yang kebetulan mendapat keterbatasan pendengaran.
Adalah Amatullah Basiimah, penyandang disabilitas rungu, asal Kota Bekasi, yang kemudian menjadi salah satu pentashih Al-Qur’an isyarat. Putri Heri Koswara dan Ibu Nur Indah Harahap ini yang sejak lahir menyandang tuli kemudian menjadi bagian penting sehingga terbit Al-Qur’an isyarat.
Buku ini mengisahkan perjuangan orangtua Basiimah dalam berjuang mengatasi ‘kekurangan’ pendengaran pada anaknya. Agar dia bisa diterima di lingkungan sosial. Perjuangan yang luar biasa, untuk bisa ‘menerima’ kekurangan kondisi fisik seorang anaknya.
Perjuangan yang kemudian bahkan bukan hanya bisa menjadikan menerima keadaan. Namun bahkan bisa menjadikan kekurangan itu hal yang harus disyukuri. Allah pasti tidak menciptakan manusia, apa pun kondisinya, tanpa rencana yang sempurna.
Jadilah, kemudian rasa syukur itu memenuhi relung hati dan sikap. Tidak adalagi istilah menyesali atas keputusan Allah, kecuali menyukuri dengan sikap dan bisa bermanfaat bagi sesama. Inilah yang kemudian dilakukan Basiimah dan orangtuanya.
Dalam diskusi buku itu, saat awal pengenalan diri, Basiimah menyampaikan perjalanannya sejak kecil menjadi penyandang tuli. Peserta diskusi dibuat terpana. Bukan hanya kepada kisahnya, tetapi cara penyampaian cerita yang dibantu penterjemah, menjadikan peserta diskusi terpana.
Basiimah menyampaikan pengenalan Al-Qur’an isyarat kepada peserta diskusi dengan bahasa isyarat.
Ada satu lagi, karena ini Al-Qur’an, maka isyarat yang disampaikan ini juga harus ditashih oleh lembaga berwewenang. Tidak boleh sembarangan isyaratnya. Ya khan?
Saat ini, LPMQ sudah menyelesaikan 30 juz Al-Qur’an Isyarat. Jika kaum tuna netra sudah 30 tahunan lalu punya Al-Qur’an Braile, kini kaum tuna rungu juga sudah punya. Dan disahkan pada tahun ini.
Selamat, Basiimah. Selamat kepada tim penulis buku, yang dikomandani wartawan senior H. Amin Idris.
Oleh : Chotim Wibowo (Pimpinan Redaksi)