Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 di tanah air ini akan dihelat pada 27 November 2024 mendatang. Setidaknya perebutan singgasana kepala daerah akan diikuti 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Bagi para kandidat, salah satu tugas utama agar memenangkan kontestasi adalah bagaimana mampu mempengaruhi para konstituen agar memilih dirinya. Sebab itu, memahami pelbagai tipe dan karakter konstituen wajib khatam.
Secara general, sejatinya ada empat tipe pemilih dalam gelaran Pilkada 2024 yakni; pemilih rasionalis, pemilih tradisional dan pemilih skeptis , dan pemilih pragmatis.
Pemilih rasionalis adalah pemilih yang lebih mengutamakan kemampuan paslon kandidat dan/ atau partai pengusungnya dalam program kerjanya. Program kerja ini bisa di analisis dari dua segi, yaitu: 1) kinerja partai atau kandidat di masa lampau dan 2) program yang ditawarkan untuk memecahkan masalah daerah setempat. Kedua hal ini sangat mempengaruhi pemilih dalam pengambilan keputusan.
Disini pemilih tidak hanya melihat kepada program kerja yang ditawarkan oleh partai atau kandidat saja tetapi juga menganalisis tentang apa yang telah dilakukan oleh partai atau kandidat tersebut. Kinerja partai atau kandidat ini biasanya tercermin dari reputasi dan image yang berkembang di masyarakat.
Dalam konteks ini, yang harus dilakukan oleh partai atau kontestan tersebut adalah bagaimana mereka bisa membangun reputasi di depan publik dengan mengedepankan kebijakan umum yang dapat mengatasi masalah warga masyarakat.
Jenis pemilih kedua adalah pemilih tradisional. Pemilih tipe ini memiliki orientasi yang cukup tinggi dari segi ideologi terhadap parpol pengusung dan. Atau paslon kandidat.
Pemilih tradisional ini sangat mengutamakan kedekatan dengan faktor sosial budaya, nilai, asal-usul, faham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih paslon kandidat kepala daerah. Pemilih tipe ini biasanya tidak terlalu mengutamakan kebijakan yang ditempuh oleh paslon kandidat, sepeti kebijakan dalam bidang ekonomi, kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan sebagainya. Mereka biasanya meletakkan kebijakan partai dan/ atau paslon kandidat ini pada urutan kedua.
Tipe pemilih tradisional lebih mengutamakan figur dan kepribadian dari kandidat,mitos, maupun nilai historis dari sebuah partai politik atau kandidat. Salah satu karakteristik mendasar dari pemilih tipe tradisional adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai atau faham yang dianut.
Yang ketiga adalah tipe pemilih skeptis. Tipe pemilih seperti ini memiliki orientasi atas ideologi yang cukup tinggi terhadap sebuah partai atau kandidat, dan juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting.
Pemilih skeptis sangat kurang keinginannya untuk terlibat dalam masalah sebuah partai politik dan/ atau kandidasi, karena memang mereka memiliki ikatan ideologis yang rendah. Sebab itu pemilih tipe ini perlu perlu diberikan pencerahan dan motivasi agar menggunakan hak pilihnya secara baik dalam gelaran Pilkada.
Yang keempat adalah pemilih pragmatis. Pemilih tipe ini biasanya lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan untung dan rugi. Suara mereka akan diberikan kepada kandidat yang bisa mendatangkan keuntungan sesaat secara pribadi kepada mereka. Inilah yang lazim disebut sebagai praktik politik sodagar (transaksional) yang kian kemari semakin vulgar dilakukan.
Pragmatisme pada dasarnya berlawanan dengan konsep idealisme. Kalau idealisme dilandasi oleh nilai – nilai moral dan etika. Politik yang berpijak kepada kebenaran, kepatutan, kejujuran, dan nilai – nilai etika politik yang lain, maka pragmatisme beranjak kepada realitas sosial yang ada, kepentingan dan kondisi yang dialami oleh masyarakat. Oleh karena itu, maka pragmatisme dapat menimbulkan politik saudagar yang memberlakukan hukum pasar dalam politik.
Pada era pragmatisme politik ini supply dan demand menjadi motto dalam setiap helatan politik. Terjadinya hukum pasar atau politik saudagar ini memberikan peluang besar pada kaum kapitalis/pemodal untuk menjadi pemenang dalam kompetisi politik.
Dengan modal yang dimiliki, kaum pemodal/ bohir bisa membeli posisi strategis dalam partai bahkan mungkin “membeli partai”, membeli rekomendasi sampai dengan membeli suara dalam pilkada.
Implikasinya lebih jauh, masyarakat tidak mempunyai harapan masa depan terhadap helatan Pilkada karena mereka telah menjual suaranya saat pencoblosan. Sebaliknya kaum pemodal/bohir lah yang mempunyai hak untuk menentukan arah kebijakan sesuai dengan niat dan orientasi mereka.
Politik saudagar yang dilandasi oleh politik pragmatisme ini berimplikasi lebih jauh dalam proses pelayanan dan prioritas pembangunan. Ketika paslon kandidat yang berhutang modal kepada bohir telah menduduki jabatan publik, maka pejabat publik tersebut akan memberlakukan hukum ekonomi dalam mengarahkan bantuan, menentukan prioritas pembangunan, dan juga pelayanan kepada masyarakat.
Prioritas pembangunan dan pelayanan seperti pengaspalan jalan, bansos, dan pelayanan umum lainnya akan diutamakan kepada kelompok atau entitas dimana pejabat publik tersebut mendapatkan suara banyak ketika pemilihan dilangsungkan.
Pada daerah-daerah, wilayah, atau entitas sosial yang tidak memberikan kontribusi suara banyak kepada kaum bohir tersebut, mereka akan menjadi “kelompok merana” karena, kemungkinan tidak dijangkau oleh berbagai fasilitas pelayanan maupun program pembangunan bahkan mungkin tidak disentuh sama sekali.
Efek negatif selanjutnya, politik saudagar ini akan berproses juga pada lingkungan birokrasi pemerintah. Posisi jabatan struktural yang strategis yang sering disebut dengan “posisi basah” menjadi barang dagangan yang bisa dijual oleh pejabat publik kepada birokrat-birokrat yang menginginkan posisi strategis tersebut. Jabatan strategis di eselon I, eselon II, sampai dengan eselon III, seringkali menjadi barang dan jasa yang bisa diperjualbelikan.
Karena pragmatisme beranjak pada kepentingan praktis si pelaku (politisi dan masyarakat),maka keadilan menjadi subjektif. Bagi masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan, tentu akan berpandangan bahwa pemerintah atau pejabat publik dari kaum kapitalisme tersebut tidak adil.
Namun, bagi pejabat publik tersebut mereka akan berpandangan sebaliknya, bahwa mereka telah berbuat adil kepada masyarakat sesuai dengan kontribusinya pada si pejabat publik tersebut. Adil dalam konteks pejabat publik tentu sifatnya adalah keadilan berdasarkan hukum pasar atau politik saudagar.
Sebab itu semua, jangan coba-coba jadi pemilih pragmatis, sebab masa depan anak cucu kita akan menjadi seperti barang dagangan.
Oleh : Imam Trikarsohadi (Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik)