Oleh : Imam Trikarsohadi
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkap alasan dirinya mendorong agar kejanggalan kekayaan dari eks Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo diusut tuntas.
Rafael Alun tengah menjadi sorotan usai anaknya Dandy Mario Dandy Satriyo menganiayai anak pengurus GP Ansor, David. Mahfud menyatakan pengusutan kejanggalan harta Rafael juga dilakukan untuk mendidik masyarakat agar tidak berlaku gaya hedonisme.
“Bukan karena kita benci bukan karena kita apa. Tetapi kita mau menegakkan hukum dan mendidik masyarakat di negeri ini, agar tidak menjadi hedonis, berfoya-foya memanfaatkan kesempatan,” kata Mahfud saat ditemui di RS Mayapada, Jakarta Selatan, Selasa 28 Feberuari 2023.
Rafael memiliki harta yang hampir setara dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dilaporkan Rafael per 2021, ia memiliki total kekayaan Rp56.104.350.289, dan tidak memiliki utang sama sekali.
Jumlah kekayaannya hanya lebih rendah Rp1,9 miliar dari harta Sri Mulyani yang mencapai Rp58.048.779.283. Hal itu pun menimbulkan beberapa dugaan potensi adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Rafael.
Penandasan yang tak kalah keras datang dari Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj. Ia akan menyerukan aksi tak bayar pajak jika Rafael Alun Trisambodo terbukti menyelewengkan dana pajak.
Said menyebut hal serupa pernah dia serukan saat menjabat sebagai Ketum PBNU pada 2012 dan telah disepakati dalam Munas NU. Kala itu, seruan dikeluarkan Said lantaran Gayus terbukti melakukan penyelewengan dana.
“Tahun 2012 bulan September, Munas ulama di pesantren Cirebon, waktu itu baru ada kejadian Gayus Tambunan, keputusan para kyai bahwa kalau uang pajak selalu diselewengkan NU akan mengambil sikap tegas warga NU tidak usah bayar pajak,” kata Said saat hendak menjenguk David di RS Mayapada, Kuningan 28 Februari 2023.
“Saya ungkit keputusan munas tadi. Kalau memang pajak uang diselewengkan, ulama ini akan mengajak warga tak usah membayar pajak,” imbuhnya.
Said mengungkapkan keputusan itu mengacu pada kitab kuning dan para imam serta ulama. Dia menjelaskan dana pajak harus dipakai untuk keperluan masyarakat umun.
Tentu, ini tidak main – main, sebab dua tokoh ini punya pengaruh luas dikalangan Umat Islam Tanah Air, khususnya warga NU. Hal ini sekaligus pula menandakan ada yang abnormal di lingkungan pajak yang dampaknya sangat merugikan negara dan rakyat.
Sebab apa? Jawabnya karena dari sudut pandang ekonomi, pajak merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk mengarahkan kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan, serta sebagai motor penggerak kehidupan ekonomi masyarakat. Penerimaan negara yang berasal dari pajak merupakan salah satu aspek penting dalam rangka menjamin kelangsungan pembangunan yang berbasis pada kemandirian dalam pembiayaannya.
Pencapaian penerimaan dari sektor pajak bukanlah suatu hal yang mudah, disebabkan berbagai faktor penghambat dalam pemungutan pajak, yaitu masalah perekonomian nasional dan internasional, masalah pelayanan birokrasi perpajakan, masalah kepatuhan dan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak, dan tindak pidana korupsi di sektor pajak baik dari sisi perolehan maupun penyetoran uang pajak ke kas negara.
Sebagaimana fenomena gunung es (iceberg phenomenon), kasus tindak pidana korupsi di bidang perpajakan yang terungkap, hanya sebagian kecil dari kasus korupsi pajak yang pernah terjadi di Indonesia. Sejarah pernah mencatat kasus korupsi para pejabat di lingkungan pajak seperti kasus Bahasyim Assifie selaku Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII dengan toal kerugian negara sebesar Rp.60.992.238.206,00 dan USD 681.147,37; Gayus Halomoan Partahanan Tambunan selaku Pelaksana pada Direktorat Keberatan dan Banding dengan kerugian negara sebesar Rp.570.952.000,00; Tommy Hindratno selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi II pada Kantor Pajak Pratama Sidoarjo Selatan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp.280.000.000,00; dan beberapa kasus lainnya.
Permasalahan korupsi di sektor pajak tidaklah sesederhana yang dituliskan (law in books), banyak aspek yang harus diperhatikan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor pajak. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penelitian secara yang utuh, komprehensif, dan holistik mengenai risiko dan peluang terjadinya korupsi di sektor pajak merupakan hal yang sangat penting agar titik-titik potensial kerawanan korupsi di bidang perpajakan dapat dipetakan sebagai bagian dari strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor pajak.
Mendeteksi risiko dan peluang terjadinya korupsi di sektor pajak dapat dilakukan dengan pemetaan pada titik-titik rawan korupsi di sektor pajak, yaitu pada proses pemeriksaan pajak; proses penagihan pajak; proses pengadilan pajak; fasilitas perpajakan; layanan kepada peserta pajak dan keluhan; kontrol layanan dan pemasukan; penyangkalan, revisi, dan penarikan pajak; tugas dan fungsi account representative; dan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Reformasi birokrasi Ditjen Pajak merupakan upaya dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor pajak. Berkaca dari reformasi birokrasi di Bolivia, strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan dengan memfokuskan pada pengelolaan sektor pajak secara transparan dan akuntabel, merevisi dan/atau mengganti peraturan perundang-undangan, serta implementasi dan penegakan hukum yang bersih dan beribawa. Penggunaan teknologi e-taxation terbukti efektif untuk mendukung strategi pemberantasan korupsi.
Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor pajak dapat dilakukan dengan cara; menerbitkan regulasi tentang transparansi beneficial ownership untuk menghindari praktik penghindaran dan pengemplangan pajak, aliran uang haram, konflik kepentingan, dan keterlibatan aktor politik ilegal di sektor swasta; membentuk National Tax Service (NTS) sebagai strategi pemberantasan korupsi, seperti yang dilakukan di Bolivia; serta melakukan kerja sama dengan semua sektor pemerintahan, khususnya dinas keuangan dan perbankan, serta membentuk tim intelijen finansial untuk mengawasi kerja sama tersebut (*).