Oleh : Imam Trikarsohadi
Semula saya menduga, dengan era digital 4.0 yang membuat manusia bisa mencari pelbagai informasi dan berkomunikasi kemana saja dan kapan saja hanya dengan sentuhan jari, akan berdampak mengikis animo mudik, ternyata tidak, sebab realitasnya di penghujung Bulan Ramadhan 1443 H/2022 ini– berjuta-juta manusia bergerak masif untuk mudik.
Secara umum, Indonesia sudah secara aktif menapaki era baru yang ditandai dengan bergeraknya berbagai sektor kehidupan ke arah digital serba otomatis. Fenomena ini bisa kita lihat dengan bukti kalau semakin banyaknya kegiatan berbasis digital di sekitar kita, termasuk komunikasi.
Ciri utama era digital 4.0 adalah bagaimana data menjadi sesuatu yang penting. Di jaringan internet setiap harinya ada miliaran orang yang berbagi data. Mereka mengirimkan tulisan, foto hingga video. Semua ini bisa terwujud dengan adanya perangkat yang menghubungkan ke internet.
Dari semua data yang diunggah, ada kecerdasan buatan atau artificial intelligence yang kemudian menerjemahkannya menjadi sebuah algoritma. Algoritma ini kemudian menjadi data yang bisa dimaksimalkan untuk membantu kepentingan apa saja.
Tapi semua kecanggihan itu tak berdaya ketika berhadapan dengan animo mudik – sebuah tradisi yang bermakna kembali ke kampung halaman secara fisik, sekaligus sebagai bagian kecintaan sosial kultural terhadap kampung halaman. Faktor kedekatan emosi dengan kampung halaman mendeterminasi panggilan pulang kampung tersebut.
Relasi sosial, kultural, dan emosi, terbukti telah mengikat jutaan warga Indonesia untuk melakukan mudik. Kampung halaman menjadi ruang otentik seseorang berasal. Sementara kota menjadi ruang abstrak bagi individu. Seseorang boleh bekerja keras dan banting tulang di kota untuk mencari nafkah, tapi kecintaan terhadap kampung halaman menunjukkan keterikatan kultural yang apa boleh buat–menjadi semacam kewajiban sosial.
Adalah fakta bahwa tradisi mudik menemukan ruang otentisitasnya bagi rakyat Indonesia. Artinya, jika tradisi mudik semakin menguat, maka dapat dikonstruksikan sebagai menguatnya kebersamaan dan keterikatan dalam masyarakat Indonesia; keterikatan horizontal masyarakat maupun keterikatan antara individu dan kampung halamannya.
Keterikatan ini dalam perspektif sosiologi disebut dengan attachment total yang merujuk suatu keadaan di mana seorang individu melepas ego yang terdapat dalam dirinya diganti dengan rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan inilah yang mendorong seseorang untuk selalu menaati nilai dan norma yang berkembang di masyarakat, dan itu berarti pula sabagai gerakan moral.
Karena telah menjadi gerakan moral, maka nilai-nilai yang terkandung didalamnya tentu tidak main-main. Tradisi mudik yang didalamnya mengandung esensi silaturahmi yang sangat kental, sangat berdampak positif bagi pemeliharaan keutuhan keluarga, dan karena yang punya animo mudik tidak saja yang muslim, tapi juga yang non muslim, maka tradisi mudik bisa jadi turut berkontribusi bagi terpeliharanya kesatuan dan persatuan bangsa.
Penduduk Indonesia yang terpisah oleh sebab letak geografis yang beribu-ribu pulau, lautan dan pegunungan, tapi masyarakat mendadak merekat menjadi satu kesatuan gerak dan tujuan ketika musim mudik tiba. Jika demikian, mudik dapat pula disebut sebagai salah satu rukun masyarakat Indonesia. Bukan Indonesia namanya jika tidak ada tradisi mudik.Ini kekayaan tatanan sosial yang dasyat dan tak dimiliki negara dan bangsa lain.
Kenapa demikian ? Jawabnya karena mudik punya multiplier effect yang amat luas. Dengan adanya tradisi mudik, penduduk Indonesia pada akhirnya dapat berkomunikasi dan bersilaturahmi dengan keluarga, tetangga, dan juga orang lain, yang mungkin di hari-hari lain cukup sulit dilakukan karena kesibukan masing-masing.
Di perjalanan, para pemudik berjumpa banyak orang yang pada akhirnya saling menyapa, saling empati dan saling berkisah, sehingga kian saling mengenal satu sama lain dalam suasana yang positif. Ini sangat berfaedah bagi kesatuan dan persatuan bangsa, karena komunikasi yang cair dalam suasana dan semangat yang baik akan dapat meredusir potensi barbar dan brutal.
Belum lagi dampak terhadap tatanan sosial dan perekonomian. Meski dalam waktu yang terbatas, tradisi mudik juga berdampak pada pemerataan ekonomi. Uang yang dibawah pemudik ke kampung halaman pada akhirnya menghidupkan roda perekonomian di daerah/ kampung halaman. Pun soal suksestori pemudik, bisa jadi akan menginspirasi generasi muda di kampung halaman, dan jadi termotivasi untuk bangkit menjadi pribadi-pribadi yang sukses pula.
Intinya, zaman boleh berubah.Teknologi juga terus berkembang.Tetapi, tradisi mudik tak bisa digantikan oleh kecanggihan teknologi apa pun. Bagi kebanyakan masyarakat, rasanya kurang lengkap jika lebaran tidak melakukan mudik ke kampung halaman. Bahkan,tidak sedikit warga yang menganggap mudik sudah menjadi ritual yang tidak bisa digantikan dengan nilai materi apa pun.
Hebatnya, realitas tradisi mudik pada perkembangannya kini telah melampaui batas-batas teologis dan etnis. Bukan hanya monopoli umat Islam semata– karena bertepatan dengan momen lebaran, durasi liburan yang cukup panjang — menjadi keuntungan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan mudik.
Rasanya cukup naif jika tidak mengatakan bahwa mudik bukan gerakan moral. Sebab realitasnya tradisi mudik sudah tertanam kuat dalam realitas sosial kultural masyarakat Indonesia. Mudik merepresentasikan proses sosial yang berlangsung lintas generasi dan diwariskan secara turun-temurun. Semakin lama, mudik menjadi kebiasaan karena menjadi sesuatu yang rutin dilakukan, diharapkan, dan disetujui bersama. Itu berarti indikator kuat sebagai gerakan moral.
Inilah yang disebut dengan proses institusionalisasi mudik dalam masyarakat. Sebab ada kolektivitas nilai sosial yang melekat dan diperjuangkan bersama dalam tradisi mudik . Nilai sosial ini yang terus mengalami pelembagaan secara kuat di masyarakat, dan kini menjelma menjadi gerakan moral. (Pemimpin Redaksi).