Pada akhirnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang para menterinya untuk menyuarakan penundaan Pemilu 2024. Seperti diketahui, beberapa menteri sempat menyuarakan penundaan Pemilu dengan dalih sebagai wacana dari demokrasi.
Apa yang diserukan oleh Presiden Jokowi merupakan langkah tandas, karena apa yang disampaikannya merupakan peringatan keras kepada para menteri agar fokus bekerja.
Kita merasakan bahwa realitas melonjaknya harga-harga belakangan ini adalah salah satu produk kinerja para menteri yang tidak bagus, dan tentu, Presiden Jokowi punya pertimbangan ihwal menteri mana yang tidak bekerja dan berpotensi untuk di reshuffle.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyentil sejumlah menterinya dalam Sidang Kabinet yang ditayangkan Youtube Sekretariat Presiden, Rabu 6 April 2022.
Jokowi menyentil menteri karena kurang komunikasi kepada masyarakat saat terjadi kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng dan kenaikan harga pertamax.
“Tidak ada statement, tidak ada komunikasi, harga minyak goreng sudah 4 bulan, tidak ada penjelasan apa apa, kenapa ini terjadi. yang kedua pertamax, menteri juga tidak memberikan penjelasan apa apa, mengenai ini,” kata Jokowi.
Seharusnya para menteri memiliki sense of crisis, dengan memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai kondisi yang terjadi. Jangan sampai rakyat menilai pemerintah tidak melakukan apa-apa karena tidak memberikan penjelasan dengan kondisi yang terjadi.
“Jangan sampai kita ini seperti biasanya dan tidak dianggap oleh masyarakat enggak melakukan apa apa. Tidak ada statement, tidak ada komunikasi,” kata Jokowi.
Presiden mengatakan dalam kondisi yang sulit seperti sekarang ini kebijakan yang diambil harus tepat. Kebijakan yang diambil harus sensitif pada kesulitan-kesulitan rakyat.
Wacana Tiga Periode
Sejak pertama kali wacana tiga periode bergulir, ingatan saya langsung terpaut dengan peristiwa Tahun 1998 yang percakapannya direkam dalam buku Jejak kudeta 1997-2005, Catatan Harian Letnan Jenderal (Purn) TNI Djadja Suparman.
“Bapak Soeharto masih pantas memimpin negara ini dan rakyat mengharapkan Bapak Soeharto untuk bersedia menjadi presiden berikutnya,” ucap Ketua Umum Partai Golkar Harmoko saat bertemu Presiden Soeharto jelang pemilihan presiden 1998.
Harmoko begitu bergairah mendesak Soeharto untuk kembali mencalonkan diri sebagai presiden. Pada peringatan hari ulang tahun Golkar, 20 Oktober 1997, Harmoko menyampaikan pidato panjang lebar untuk meyakinkan Soeharto maju kembali.
Dia pun menindaklanjuti pidato dengan Safari Ramadan. Setelah kegiatan itu, Harmoko kembali bicara kepada Soeharto. Kata Harmoko, rakyat di berbagai daerah masih menginginkan Pak Harto untuk menjadi presiden.
Walaupun demikian, keraguan awalnya menyelimuti Soeharto. Sebagian kalangan percaya Soeharto mau menyudahi eranya. Dia pun sempat bertanya ke Harmoko dan sejumlah elite Golkar apakah rakyat masih ingin dipimpin olehnya.
Harmoko dan para menteri lain pun begitu ngebet mendorong Soeharto maju lagi. Bahkan, Harmoko mengklaim mayoritas rakyat Indonesia mendukung pencalonan kembali Soeharto pada Sidang Umum MPR pada Maret 1998.
Ringkasnya, hanya 70 hari setelah Pak Harto dipilih kembali menjadi presiden dan dilantik pada 10 Maret, ia lengser dari jabatan presiden. Dia mengundurkan diri usai pengunduran diri para menteri dan demonstrasi besar-besaran.
Yang paling menyakitkan bagi Soeharto mungkin adalah sikap anak emasnya, Harmoko. Pria yang membujuknya mencalonkan diri menjadi sosok yang paling keras memintanya turun dari jabatan.
Maka, ketika ada hasrat mendorong Presiden Jokowi agar bersedia memperpanjang jabatan, lansung saja ingatan terpaut pada momen kelengseran Soeharto itu. Usulan tiga ketua umum partai politik kepada Jokowi untuk menunda Pemilu 2024, mirip dengan manuver Harmoko di akhir 1997 hingga awal 1998.
Rayuan yang dipakai pun sama: klaim bahwa rakyat menginginkan presiden melanjutkan pemerintahannya. Padahal, tidak sedikit kelompok yang menentang gagasan tersebut. Posisi Jokowi pun mirip-mirip dengan Soeharto. Saat ini, sebanyak 82 persen kursi DPR dikuasai partai-partai pendukung Jokowi. Pada 1997, Soeharto menguasai 80 persen parlemen lewat Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI.
Untungnya, Jokowi “tanggap ing sasmita” dengan situasi politik yang “mrugul” ini, maka ia pun menandaskan agar para menteri tidak lagi menggulirkan wacana untuk menunda–atau mungkin lebih cocok disebut membatalkan– Pemilu 2024.
Sebab apa, saya khawatir mereka hanya memanfaatkan momentum untuk menghasut Jokowi mengangkangi demokrasi. Jika berhasil, mereka bisa untung. Jika tidak berhasil, Jokowilah yang jadi sasaran tembak.
Terkait hal ini, bukankah Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt telah mengingatkan kita lewat How Democracies Die bahwa kediktatoran tak selalu lahir dari kudeta. Kisah kematian demokrasi yang monumental justru terjadi melalui proses paling demokratis.
Mereka menyebut konstitusi dan lembaga berlabel demokratis lainnya tetap ada. Akan tetapi, autokrat hasil pemilu mempertahankan tampilan demokrasi sambil menghilangkan substansinya.
Levitsky dan Ziblatt juga mengingatkan sejumlah ciri diktator. Salah satunya adalah menolak aturan main demokrasi, baik melalui kata-kata maupun perbuatan.
Ingat, konstitusi kita dengan tegas menandaskan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945), dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, yang merupakan hasil reformasi, jelas-jelas menyatakan pemilu digelar 5 tahun sekali. (Imam Trikarsohadi)