Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Esai

Hari Buruh Internasional 2017, Indonesia SOS Jaminan Sosial (Bagian 1)

×

Hari Buruh Internasional 2017, Indonesia SOS Jaminan Sosial (Bagian 1)

Sebarkan artikel ini
Rieke Diah Pitaloka

MALANG- Dalam Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang dicanangkan Pemerintahan Soekarno salah satu bidang prioritas adalah bidang tenaga kerja dan Jaminan Sosial. Hal tersebut sangat relevan dengan situasi saat ini.

Di negara mana pun Jaminan Sosial memiliki peran krusial bagi pekerja untuk mengantisipasi dampak negatif pasar bebas dan globalisasi yang menyebabkan pekerja berapa pada posisi rentan secara sosial dan ekonomi.

Scroll Ke Bawah Untuk Melanjutkan
Advertisement

Semenjak berlakunya UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, maka Indonesia menganut sistem Jaminan Sosial yang tidak lagi diselenggarakan oleh badan yang menganut “for profit body”.

Sejak berlakunya UU BPJS maka Jaminan Sosial tidak lagi diselenggarakan oleh empat BUMN (PT. Jamsostek, PT. ASKES, PT TASPEN dan PT ASABRI). Dua Badan nirlaba (not for profit) ditunjuk sebagai penyelenggara, yaitu BPJS Kesehatan (Jaminan Kesehatan) dan BPJS Ketenagakerjaan (Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian). Dengan sistem pembiayaan “cost sharing” antara pekerja dan pemberi kerja.

UU BPJS pasal 15 menegaskan bahwa setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta di dua BPJS tersebut. Pasal 55 menyatakan bahwa perusahaan yang tidak membayarkan iuran BPJS yang menjadi tanggungjawabnya mendapatkan sanksi berupa : pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda hingga 1 Miliar.

Tahun 2016 data BPS menyatakan jumlah angkatan kerja 120.647.697 orang. Diperkirakan jumlah pekerja yang terserap sektor formal hanya 42,24% atau setara dengan 48,5 juta orang saja.

Bagaimana dengan angka kepesertaan BPJS? Kepesertaan di BPJS Kesehatan berdasarkan data per 28 Februari 2017 adalah 10.127.263 orang pekerja. Dengan rincian perusahaan swasta 9.626.631 pekerja dan BUMN baru sebanyak 500.632 pekerja.

Untuk BPJS Ketenagakerjaan per 31 Desember 2016 tercatat jumlah peserta 22.600.000 orang pekerja. Dengan rincian, swasta 22.025.246 dan BUMN sebanyak 574.574 orang pekerja.

Dari data di atas terlihat:

1. Masih minimnya kepesertaan BPJS, termasuk di BUMN. Memperlihatkan ketidakpatuhan terutama BUMN yang seharusnya menjadi contoh pertama ketaatan terhadap UU.

2. Mayoritas pekerja Indonesia belum mendapatkan lima jamianan sosial. Hal ini sangat berbahaya bagi pekerja Indonesia dan keluarganya karena masih tingginya resiko kecelakaan kerja hingga kehilangan pekerjaan, serta kondisi tanpa pelindungan saat tanpa Kerja dan pasca kerja.

2. Ketidaksinkronan jumlah peserta di BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kepesertaan BPJS Kesehatan lebih sedikit dari BPJS Ketenagakerjaan.

3. Belum maksimalnya kinerja Dewan Jaminan Sosial Nasional, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sebagai penyelenggara, termasuk Dewan Pengawas di kedua BPJS.

Rekomendasi:

1. Saya mendukung Pemerintah untuk lebih serius dalam menjalankan UU SJSN dan BPJS. Dan berani memberikan sanksi kepada pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta di kedua BPJS.

2. Mendukung Pemerintah untuk pertama kali mendorong BUMN beserta anak-anak perusahaannya menjadi contoh dalam memenuhi kewajiban terjaminnya Lima Jaminan Sosial bagi seluruh pekerjanya apa pun status kerjanya, sesuai perintah UU.

3. Mendukung Pemerintah untuk segera memperbaiki berbagai regulasi turunan UU BPJS agar watak Jaminan Sosial tidak berubah menjadi jaminan komersial yang bukan melindungi, tetapi malah menambah beban pekerja Indonesia pada khususnya dan seluruh Rakyat pada umumnya.

Catatan: Beberapa regulasi yang harus segera diperbaiki terkait BPJS akan disampaikan pada release berikutnya.

Malang, 30 April 2017

Rieke Diah Pitaloka

•Anggota Komisi VI DPR RI
•Mantan Anggota Pansus UU BPJS

Example 120x600
Esai

Jenis pemilih kedua adalah pemilih tradisional. Pemilih tipe ini memiliki orientasi yang cukup tinggi dari segi ideologi terhadap parpol pengusung dan. Atau paslon kandidat. 

Esai

Etikabilitas yang dimaksud adalah sebuah konsep kepatuhan seseorang atas nilai-nilai etis yang tercermin dalam segenap perilaku yang dilakukan. Sebab itu agar tidak salah pilih, maka etikabilitas tetap perlu mendapatkan tempat ketika memilih kepala daerah.

Esai

Untuk itu, Kota Bekasi perlu para pemilih yang cerdas yang anti money politic, tidak asal pilih, dan menjadikan visi, misi dan platform paslon sebagai pertimbangan utama, serta pemilih yang belajar dari pengalaman empiris perihal banyaknya pejabat Kota Bekasi yang tersandung kasus pidana korupsi oleh sebab pucuk pimpinan yang koruptif.

Esai

Setelah dilakukan penelusuran literasi, ternyata Paslon Bang Heri dan Bang Sholihin ini terbilang membumi dalam mengamati persoalan warga Kota Bekasi, karena sesuai data Pengadilan Negeri Agama Kota Bekasi, angka perceraian untuk Kota Bekasi sepanjang 2022 sejumlah 4.887 kasus. Terdiri atas cerai talak (oleh suami) sejumlah 1.305, cerai gugat (oleh istri) sejumlah 3.582 perkara.

Esai

Jadi, polarisasi politik yang terjadi pada pilpres, pileg dan kini pilkada, hanya merupakan ilusi yang berpotensi membawa diskursus demokrasi kita mengarah kepada proses pendangkalan. 

Esai

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum,” demikian bunyi ayat tersebut.