Anggota DPRD Kota Bekasi asal Golkar Dariyanto, mengingatkan pemerintah daerah agar tidak gegabah memperluas skema kerja dari rumah (WFH) bagi aparatur sipil negara (ASN). Ia menilai kebijakan itu berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial antarsektor pelayanan dan dapat memengaruhi perputaran ekonomi.
Menurutnya, pelayanan publik tidak seluruhnya bisa dikerjakan dari rumah. “Misalkan bicara efisiensi kantor, AC dimatikan itu bisa. Tapi pelayanan masyarakat sulit kalau dikerjakan dari rumah. Ada beberapa bidang yang mungkin bisa, tapi tidak semua,” ujarnya dikutip bekasiguide.com, Rabu, 19 November 2025.
Dariyanto menegaskan, Pemkot harus berhati-hati agar tidak muncul kesan bahwa ASN mengurangi beban kerja. “Jangan sampai ini menjadi bola liar, seolah ASN nggak kerjaan. Efektivitas dan efisiensinya harus diuji,” kata dia.
Ia juga menyoroti aspek keadilan antarpelayanan. ASN yang bertugas di layanan dasar seperti sekolah dan perkantoran tetap wajib hadir secara fisik, sementara sebagian pegawai lain bisa bekerja dari rumah.
“Saya berharap ini tidak menjadi kecemburuan sosial. Semua harus diracik optimal,” ucapnya.
Selain faktor internal, ia menilai kebijakan WFH memiliki dampak ekonomi. “Kalau di rumah saja, ekonomi nggak berputar. Siklus ekonomi berjalan kalau aktivitas normal. Kita juga tidak dalam situasi COVID, kehidupan sekarang normal,” kata Dariyanto.
Penekanan Efisiensi Anggaran: Tidak Bisa Instan
Terkait upaya efisiensi anggaran melalui penghematan listrik di lingkungan Pemkot Bekasi, Dariyanto yang juga Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kota Bekasi menyebut penghematan yang dilaporkan baru mencapai sekitar 10 persen. Ia mengapresiasi langkah tersebut tetapi menilai ruang efisiensi masih luas.
“Bukan hanya bicara listrik, tapi juga banyak kegiatan operasional lain yang bisa ditekan. Jika sekarang 10 persen, bulan berikut bisa 15, lalu 20 hingga 25 persen. Tidak harus langsung 30 persen dalam satu atau dua bulan,” jelasnya.
Dariyanto meminta pemerintah membangun kultur efisiensi secara bertahap, agar perubahan kerja tidak menimbulkan “shock culture” di kalangan pegawai.
“Habit harus dibentuk. Semua step-by-step,” tutupnya.








