KAMI tinggal di Misfalah, Mekkah. Selama haji, sekitar sebulan, kami akan menetap di sini. Maktab 44 yang menjadi kenangan tak terlupakan.
Jarak ke masjid (Masjidil Haram), lumayan jauh. Ditempuh dengan berjalan kaki sekitar setengah jam. Bahkan lebih.
Meski jauh, tapi nyaman saja. Saat itu kami belum bisa menikmati bus shalawat. Hanya kalau mau, bisa naik taksi. Namun kami lebih banyak memilih jalan kaki saja.
Jauh menjelang subuh, kami sudah bersiap berjalan kaki. Kecuali jika ada rencana umroh, maka kami memilih naik taksi berombongan ke miqod. Pernah ambil di Jikrona, tepi lebih sering ke Tanim. Setelah miqod, kami ke masjid untuk mengejar shalat subuh, dan baru tawaf dan sai.
“Ah, enak sekali. Suasana haji ini demikian merindukan. Doa kami, semoga kami bisa kembali lagi ke sini”.
Kawasan Misfalah juga dekat dengan kawasan pecinan. Ada sebuah masjid di sana, yang jika ada taisyah akan diisi dengan dua bahasa. Bahasa Cina dan Arab.
Di kawasan ini juga seringkali ada dermawan yang bersedekah roti sekitar dhuha. Kami beberapa kali antri, untuk mendapatkan sepotong roti dan teh susu.
Beberapa tempat spesial masih erat kami ingat. Seperti di sana ada taman bermain. Setelah melewati jembatan layang, ada taman dan kemudian baru sampai ke maktab.
Bagi kami, kawasan tempat maktab ini selain memang tidak bisa memilih, selalu ada plus minusnya. Hanya saja, karena kami diajarkan untuk selalu menerima apa pun ketetapannya. Bagaimana pun, tempat maktab lebih dekat dengan masjid dibanding tempat kami di Bekasi. Bukan begitu?
Jalan penghubung dengan masjid menjadi jalan yang selalu diingat. Menjadi jalan kenangan. Namanya, Al Hijra Street, atau jalan Alhijra. Ada yang masih ingat? Sama-sama merindu.
Bekasi, 31 Mei 2025
Penulis : Chotim Wibowo (IPHI Kota Bekasi)