Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendadak menggelar rapat kerja untuk merevisi Undang-undang Pilkada pada Rabu (21/8/2024). Rapat dilakukan sebagai ekses dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah.
Padahal, keputusan tersebut bersifat final sehingga tak dapat direvisi. Bahkan dalam putusan MK dijelaskan itu merupakan amanat UUD 1945 hasil amendemen ketiga yang tercantum secara eksplisit pada Pasal 24C ayat (1).
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum,” demikian bunyi ayat tersebut.
Kontan, oleh sebab DPR dianggap berupaya meresistensi keputusan MK tersebut, publik pun bereaksi, dan terjadilah perdebatan panjang lebar di kanal-kanal medsos, café-café berkelas hingga warung kopi di gang-gang sempit. Apa sebab? Jawabnya karena didalamnya menyangkut tali temali kekuasaan yang akan segera diperebutkan dalam kontestasi Pilkada serentak 2024.
Apa boleh buat, kekuasaan selalu menjadi hal yang selalu diperebutkan. Karena dengan kekuasaan tersebut manusia dapat mempengaruhi atau menguasai orang lain agar mereka melakukan tindakan yang di kehendaki oleh orang yang berkuasa.
Celakanya pula, manusia jika diberi kekuasaan cenderung menyalahgunakannya dan cenderung korup. Manusia yang mempunyai kekuasaan lebih, korupnya akan meninggi, dan acap kali berbuat seenaknya tanpa memikirkan dampak buruk bagi harmoni kehidupan bersama.
Situasi tersebut mengingatkan kita akan cerita tentang Duryodhana yang tidak pernah puas dengan kekuasaan yang ia miliki. Bahkan ia ingin sekali menghina dan melihat penderitaan Pandawa (anak pandu, yaitu: Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.) Untuk melakukan aksinya, Duryodhana harus pergi ke hutan tempat Pandawa tinggal. Namun, sang ayah tidak mengizinkannya. Ayah Duryodhana takut kepada Pandawa sebab Pandawa dianugerahi kesaktian oleh para dewata.
Pada akhirnya Duryodhana dengan bala tentaranya pergi ke hutan secara diam-diam. Di pertengahan hutan mereka menemukan tempat untuk beristirahat sejenak. Namun Chitrasena raja raksasa dan perkasa sudah beberapa hari berkemah di situ bersama para pengawalnya. Chitrasena menyuruh Duryodhana dan pengawalnya untuk mencari tempat lain, tapi Duryodhana enggan untuk pindah dan terjadilah peperangan antara Duryodhana dan Chitrasena.
Beberapa pengawal Duryodhana melarikan diri ke tempat pengasingan Pandawa. Bhima senang mendengar Duryodhana kalah dan segera menyampaikan kabar tersebut kepada Yudhistira. Mendengar kabar tersebut Yudhistira merasa kasihan dan ingin melindungi Duryodhana yang sudah menyiksa dan membuat hidup Pandawa hancur. Setelah Yudhistira berbicara kepada Chitrasena, akhirnya Chitrasena melepaskan Duryodhana dan berkata bahwa ia hanya ingin memberikan pelajaran kepada Duryodhana yang congkak.
Duryodhana sangat malu karena telah menyiksa dan membuat hidup Pandawa hancur tapi merekalah yang menyelamatkannya dari Chitrasena. Di perjalanan ia mencurahkan perasaanya kepada saudara-saudaranya. Baginya lebih baik mati ditangan Chitrasena daripada dipermalukan seperti ini.
Dari cerita di atas terlihat bahwa orang yang mempunyai kekuasaan dan menyalahgunakannya, maka akan berbuat seenaknya serta jauh dari kebenaran.
Dalam psikologi modern, Duryodhana merupakan sosok yang mengidap penyakit mental berupa delusi atau waham kebesaran, sehingga ia melakukan berbagai tindakan represif tanpa ampun agar rakyat tunduk kepadanya. Secara umum, delusi atau waham kebesaran ini dapat diartikan dengan suatu keyakinan akan kekuasaan (of power), kecerdasan (of intelligence), jaringan (networking), dan popularitas diri (image self) yang melambung tinggi.
Keyakinan irasional ini selalu menghantui dirinya, layaknya halusinasi bagi pengidap sakit jiwa (skizofrenia). Maka para ahli sering memasukkan delusi ini ke dalam penciri pengidap sakit kejiwaan. Bahkan, kadang tanpa sadar haus akan pengakuan terhadap keyakinan ini sering disebut-disebut di depan pihak lain, hingga memicu mimpi buruk. Padahal, realitas sosial menunjukkan banyak orang yang menolak anggapannya itu.
Maka untuk mendapatkan pengakuan terhadap keyakinan irasional ini, ia melakukan berbagai tindakan tercela dan bahkan melanggar kesepakatan kolektif, bertujuan untuk mendapatkan pengakuan akan keyakinannya itu.
Ringkasnya, ketika seseorang telah merasa dirinya paling berkuasa,paling pintar, paling senior, paling hebat,paling suci, dan menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh pengakuan atas keyakinan itu, maka ini indikasi sedang mengidap delusi atau waham kebesaran dan haus kekuasaan.
Sosok seperti ini tidak lagi punya kepekaan memiliki dan kolektivitas (sense of belonging), kepekaan sosial (social sense), dan kepekaan terhadap masalah (sense of crisis). Ia hanya berpikir tentang kemampuan pertahanan dirinya (self of defense) untuk melanggengkan kekuasaannya tanpa diganggu oleh pihak lain yang dianggap lawan.
Tanpa sadar, delusi itu masuk ke dalam alam bawah sadar hingga memicu mimpi buruk, kemudian tiap orang yang tak tunduk serta-merta dianggap musuh yang harus dieleminir.
Artinya, seseorang yang memiliki waham kebesaran dan delusi kekuasaan jika menjadi pemimpin atau penguasa, ia akan bertindak semena-mena untuk melanggengkan dan mendapatkan pengakuan terhadap tahta dan kekuasaannya. Sebaliknya, jika ia tidak menjadi pemimpin atau penguasa, maka akan muncul pada dirinya sikap cemas, frustasi, dan depresi, sebab tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain tentang keyakinan irasionalnya.
Sebab itu kita cermati saja dari pergumulan yang terjadi tentang mana yang waras dan mana yang ngayas.
Oleh : Imam Trikarsohadi (Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik)