Oleh : Imam Trikarsohadi
Tiga partai politik; Golkar, PAN, dan PPP mendeklarasikan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) pada 12 Mei 2022. Koalisi ini dibentuk dengan tujuan untuk menghadapi Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024.
Tentu, para puncak pimpinan ketiga partai yang berkoalisi ini telah mempertimbangan pelbagai hal sebelum mendeklarasikan koalisi KIB, terutama pertimbangan politis. Tak ayal, pertimbangan mengenai kekuatan masing-masing partai politik juga turut jadi acuan karena akan sangat berpengaruh terhadap proses elektoral yang akan dijalani.
Dalam perjalanannya nanti, KIB bukan tanpa resiko, karena jika kepentingan salah satu dan/ atau lebih anggotanya tidak terakomodasi dalam proses elektoral, bisa jadi nantinya kawan menjadi lawan. Jika hal itu terjadi, maka kekalahan dalam proses elektoral bisa menjadi keniscayaan.
Hal ini yang kemudian dibaca secara cerdas oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ketika diajak bergabung dengan menjawab; ..mengajak boleh, tapi jangan mengunci..”
Apa boleh buat, koalisi partai politik merupakan hal lumrah yang terjadi dalam sistem politik demokratis. Koalisi partai politik memiliki arena dan motif yang berbeda-beda. Namun, sering kali publik mempertanyakan apa yang melatarbelakangi pembentukan koalisi partai politik. Terutama ketika terdapat partai politik yang ketika pemilu bersaing cukup kompetitif, tetapi pascapemilu memilih bekerjasama dan membentuk koalisi di pemerintahan.
Pertanyaannya kemudian, atas dasar apa partai-partai politik membentuk koalisi? Jawabnya, setidaknya ada tiga sasaran tuju dibentuknya koalisi para partai politik. Pertama, koalisi dibentuk untuk sasaran tuju pemilu dengan orientasi secara bersama-sama memenangkan pemilu. Koalisi ini idealnya bersifat voluntaristik, dimana partai politik misalnya bersepakat menjalin kerjasama secara sukarela sebab kedekatan ideologi. Konsekuensinya, partai politik yang bersepakat membentuk koalisi akan melakukan aktivitas kampanye secara bersama-sama guna meraih suara terbanyak pada pemilu.
Di Indonesia, koalisi bisa juga terbentuk sebab adanya regulasi (UU No. 7 Tahun 2017) tentang kondisi minimal kursi 20% bagi partai politik untuk mencalonkan presiden serta wapres. Bagi partai politik yang memiliki kursi 20% dapat mencalonkan sendiri tanpa harus berkoalisi, tapi bagi yang memiliki kursi DPR kurang dari 20%, mau tidak mau harus berkoalisi. Demikian halnya dalam pemilihan kepala daerah.
Kedua; koalisi dibentuk di wilayah pemerintahan dengan motif untuk menjalankan roda pemerintahan beserta-sama. Sistem pemerintahan dan sistem kepartaian pada area ini sangat berpengaruh terhadap pembentukan koalisi partai politik. Pada sistem pemerintahan parlementer–dimana tidak terdapat pemilu presiden, partai politik peraih kursi terbanyak akan membentuk pemerintahan.
Pada sistem parlementer yang menerapkan sistem dua partai, partai pemenang pemilu otomatis menjadi pemerintah, dan yang kalah menjadi oposisi, karena itu tidak ada koalisi. Tetapi, pada sistem parlementer yang menerapkan sistem multipartai seperti di Indonesia, pada umumnya sejak pemilu berlangsung — partai politik telah bersepakat untuk membentuk koalisi guna memenangkan pemilu, lalu, koalisi tersebut dilanjutkan pada pembentukan pemerintahan.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, dimana presiden dipilih melalui mekanisme pemilu langsung, koalisi tidak terjadi pada sistem dua partai, namun dengan sistem multipartai. Koalisi menjadi suatu keniscayaan di tengah sistem presidensial multipartai, terutama waktu partai politik pengusung presiden terpilih mempunyai kursi minoritas di DPR.
Meski pada konteks presidensial, presiden menjadi single chief executive yang mempunyai otoritas untuk menentukan kebijakan, namun untuk setiap undang-undang yang diusulkan– presiden memerlukan persetujuan DPR, konsekuensinya jika partai politik pendukung presiden memiliki kursi minoritas di DPR, maka besar kemungkinan kerja-kerja presiden terpilih bisa terhambat di DPR yang setiap saat bisa saja menolak kebijakan presiden. Karena itu, pada sistem presidensial multipartai, koalisi menjadi salah satu solusi utama agar presiden terpilih memperoleh dukungan mayoritas di DPR.
Ketiga ; koalisi dibentuk pada area perumusan kebijakan guna menghasilkan dan/ atau membuat kebijakan/ undang-undang tertentu. Koalisi antar partai terkait hal ini, dibatasi proyeksi waktu dan bersifat ad interim. Artinya, jika produk undang-undang sebagai tujuan koalisi telah terbentuk, maka koalisi dengan sendirinya berakhir.
Jadi bisa saja , partai politik yang bersepakat untuk berkoalisi dalam membuat suatu undang-undang, sejatinya tidak terikat dalam koalisi pemilu atau pembentukan pemerintahan.
Ketiga area koalisi seperti disebutkan diatas, dilakukan oleh para partai politik di Indonesia. Koalisi partai politik pasca-Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 misalnya, merupakan koalisi kelanjutan saat pemilu dan pembentukan pemerintahan. Penataan ulang koalisi yang sering terjadi pasca pilpres pada umumnya berkaitan dengan pengisian jabatan menteri.
Meskipun konteks presidensial sebetulnya pengangkatan menteri menjadi hak prerogratif presiden terpilih, namun kewenangan ini sangat ditentukan politik elektoral. Sudah menjadi konsekuensi logis partai koalisi pengusung presiden serta wapres terpilih mendapatkan alokasi kursi menteri, karena partai-partai tersebutlah yang bekerja secara kolektif untuk memenangkan presiden dan wapres yang diusung ketika pilpres.
Keterlibatan partai koalisi pengusung presiden dan wapres sangatlah penting guna mendukung efektivitas implementasi program yang dicanangkan oleh presiden saat pemilu. Apalagi UUD 1945 Pasal 5 menyebutkan bahwa ; “Presiden memegang kekuasaan membuat undang-undang dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat”. Maka, jumlah kursi di DPR yang dimiliki partai politk yang tergabung dalam koalisi pendukung presiden terpilih sangat penting dan krusial, ini terkait upaya meloloskan undang-undang yang diusulkan presiden saat pembahasan di DPR. Semakin banyak kursi di DPR dari parpol pendukung, maka semakin baik sebagai modal yang menunjang efektivitas pemerintahan.
Sebab itu, koalisi sebelum dan sesudah pilpres bisa saja bertambah. Bahkan parpol pesaing saat pilpres, bisa saja dikasih jatah pos kementrian. Penataan koalisi ini agar suara dukungan di DPR semakin bertambah, sehingga efektivitas kebijakan yang diusulkan presiden–dan memerlukan persetujuan DPR, tidak menemui hambatan krusial.
Persoalannya, pola koalisi yang demikian acapkali bersifat transaksional yang berujung pada praktek korupsi, atau kita kenal juga dengan istilah “uang ketok palu”. (Pemimpin Redaksi).