Polisi menangkap tiga dari enam pelaku pengeroyokan penggiat media sosial yang sekaligus Dosen FISIP Universitas Indonesia, Ade Armando. Mereka adalah Muhammad Bagja, Komaruddin, Dhia Ul Haq dan satu orang selaku tersangka provokator atas nama Arif Pardiani.
Dari pengakuan tersangka Muhammad Bagja dan Komarudin, pengeroyokan dilakukan karena kesal atas pernyataan Ade di media sosial.
“Bagja sampaikan dalam pemeriksaan yang bersangkutan kesal dengan apa yang disuarakan korban di media sosial,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan di Polda Metro Jaya, Rabu 13 Arpil 2022, seperti diberitakan berbagai media.
Bagja mengaku mengetahui sosok Ade Armando dari pernyataannya yang kerap memunculkan polemik di media sosial. Dia mengaku tidak sepakat dengan apa yang disampaikan Ade yang kerap memunculkan kontroversial. Akibatnya Bagja nekat turut memukul dan mengeroyok Ade Armando. “Selama ini (Bagja) lihat di medsos Ade suarakan hal-hal bertentangan dengan pelaku sehingga lakukan pemukulan,” terang Zulpan.
Tersangka lainnya bernama Komar mengaku ikut mengeroyok Ade Armando karena ikut terprovokasi di tempat kejadian perkara (TKP).
“Komar melakukan pemukulan karena terprovokasi dengan situasi yang ada di TKP,” tutur Zulpan.
Terkait Arif Pardiani, Polda Metro Jaya mengungkap bahwa ia melakukan provokasi di antaranya mengeluarkan kata-kata, “Ade Armando sudah mati” dan “Turun semua yang ada di Jakarta!” dalam video yang telah beredar di media sosial.
Seperti diketahui, Ade Armando mengalami pengeroyokan saat demo 11 April di depan Gedung DPR RI digelar. Setelah massa mahasiswa BEM SI bubar, pengeroyokan terhadap Ade terjadi. Dia mengalami luka serius dan kini tengah dirawat di rumah sakit.
Sejauh ini, belum ada keterangan bahwa para pelaku mengidap penyakit jiwa alias gila. Meski demikian, perlu dicermati bahwa perilaku keji para pelaku bisa jadi merupakan bagian dari patologi dalam masyarakat yang tersembunyi.
Jika menyimak keterangan para tersangka kepada kepolisian memang terasa ganjil. Kekerasan dan/ atau kekejian dengan darah dingin di sebuah negeri dengan sistem demokrasi, sangat mudah terjadi hanya oleh sebab ketidaksukaan cara pandang, dan itupun atas penilaian dari kejauhan. Begitu kuatkah patologi kekejian yang tersembunyi di tengah masyarakat sehingga sangat mudah meletup?.
Atau memang benar khabar bisik-bisik bahwa polarisasi di tengah masyarakat telah terjadi begitu tajam dan terjal, sehingga emosi tak perlu alasan kuat untuk meledak?. Atau, bisa juga semangat toleran memang terancam bangkrut?. Entahlah.
Yang jelas, jika kita ikuti secara cermat seluruh rangkaian peristiwa yang dialami Ade Armando, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa sedang terjadi keruwetan jiwa yang setengah tersembunyi di tengah-tengah masyarakat. Sinting atau tidak, apa yang dilakukan para tersangka, ini sebuah isyarat: perilaku keji sedang dalam siaga penuh untuk menyergap siapa saja dan kapan saja.
Kita tentu tidak sepaham dengan tindakan keji seperti dialami Ade Armando, tapi jika mengamati dinamika media sosial, nampaknya tak sedikit pula yang meng-aminkan dengan pelbagai alasan dan cara pandang. Ada juga yang senyum-senyum dikulum sambil diam-diam bersendawa.
Tapi apapun itu, peristiwa tersebut menunjukkan bahwa ada gelombang kecemasan di tengah-tengah masyarakat, dan sebagian diantaranya terekspresikan dengan perilaku keji. Ekspresi kecemasan akan selalu membuat cara pandangan yang bukan kita menjadi antitesis yang kita—ini bibit unggul menggeliatnya eksklusivisme. Bagi mereka, pelbagai hal di dalam hidup — yang benar adalah milik eksklusif, sebab itu menampik pendapat, gagasan, dan apapun yang dianggap sebagai orang lain ikut dalam ruang dan waktu, di sebuah wilayah dan proses menuju –yang batasnya mereka tentukan dan ditutup sepihak.
Batasnya bisa disebabkan pelbagai alasan; bisa karena beda kepentingan, beda pandangan dan aliran politik, beda aneka macam paham dan harapan, dan bahkan sebab alasan agama.
baca juga : https://bekasiguide.com/2022/04/13/terbunuhnya-prabu-salya/
Yang demikian ini tentu bikin repot, karena yang benar dianggap mutlak milik mereka, dan bahkan Tuhan milik eksklusif mereka.
Atau jangan-jangan persoalan yang kita hadapi bukanlah tersumbatnya komunikasi dan bahasa (ta’al), melainkan sebab; beta’al (bayaran).
Tapi, apa pun itu, perilaku keji adalah bentuk tingkah laku yang tidak sesuai dan melanggar norma-norma umum, adat istiadat, hukum serta Agama. Ini sumber penyakit sosial yang sudah nyata berada di tengah-tengah masyarakat, yang jika tidak dikelolah dengan baik dan sungguh-sungguh, bisa meletus sewaktu-waktu dan semakin menjadi-jadi.
Kenapa? Jawabnya, karena ada sebagian struktur sosial yang terganggu fungsinya. (Imam Trikarsohadi – Pemimpin Redaksi).