SETELAH sebentar melakukan briefing di lobi hotel, kami bergegas menuju bis. Seperti biasa, pengaturan tempat sesuai rombongan. Inilah puncak persiapan di hari puncak haji.
Wuquf. Ya, wuquf. Kami kok mendadak jadi seperti ndeso, plonga-plongo. Banyak pikiran melayang karena mikir banyaknya dosa, memikirkan banyaknya kesalahan. Akankah diampuni?
Bagaimana tidak ketika menghadapi momen dimana umat Islam di seluruh dunia merindukannya. Momen dimana manjadi satu rukun sah tidaknya haji seseorang. Momen yang dirindukan jutaan umat Islam.
Para jamaah mulai bergerak ke Arafah. Jutaan jumlahnya. Saya sempat berpikir, luar biasa panitia haji ini. Mau ngucapin terima kasih ke mana ya?
Teman saya Ahmad Fauzy (ketua Kloter) dan Bu Rahma (dokter kloter), sibuk luar biasa. Satu dokter dibantu satu perawat, ngurus 450 jamaah. Ada yang lagi sakit batuk, atau minta vitamin, atau memang ada jamaah yang butuh pendampingan karena ada penyakit tertentu. Meski begitu, ada saja jamaah yang tidak puas, dan protes memarahi dokter. Ah, Bu Dokter Rahma,yang tugas di RS Hasan Sadikin Bandung, apa khabar?
Saya hanya bisa membantu degan membawakan dus besar berisi obat-obatan yang akan dibawa ke Mina-Arafah. “Biar saya yg angkat dok,” kata saya menghibur.
Bis bergerak ke Arafah, sebelumnya sempat mabit di Mina sebentar. Ya Allah. Luar biasa suasananya malam itu. Hingga menjelang pagi kami sudah harus di Arafah. Waktu Dhuhur sampai terbenam matahari di tanggal 9 Dulhijjah, harus ada di padang arafah. Inilah momen itu. Momen yang disebutkan Rasulullah, ‘tidak ada haji jika tidak ada wuquf.’
Tak bisa banyak yang dikisahkan di sini. Bukan tidak ada, tetapi justru karena kebanyakan. Setiap menit adalah kisah. Setiap jengkal arafah adalah cerita. karena setiap detik adalah permohonan ampun, dan setiap saat adalah doa.
Bukankah Arafah minatur Padang Mahsyar. Subhanallah.
“Duhai Pasir Arafah, jika datang hari persaksian, maka saksikan kalau aku telah datang memenuhi panggilan-Nya di sini. Jika diantaramu pernah menaungi Rasulullah, maka saksikanlah jika aku umatnya yang sangat merindukannya. Allahumma sholli alaih,” bisik jamaah pada segenggam pasir bekas alas shalat. Jamaah itu menyempatkan shalat tanpa alas. Ingin merasakan aroma pasir Arofah.
Dari Arafah selepas petang kami bergeser ke Muzdalifah. Masih dalam kesibukan tinggi, kami menginap, dan mencari batu. Kemudian bergeser ke Mina untuk melempar jamarat. Kembali ke Mina untuk bermalam. Hari kedua kembali lagi melempat jamarat. Beberapa jamaah mengambil tanazul, dan langsung menuju ke Mekah untuk menyelesaikan rangkain haji di Masjidilharam.
Dan banyak jamaah lain yang menunggu dengan mengambil nafar tsani di hari berikutnya. Tawaf ifadhah dan kemudian menutup rangkain haji dengan tahalul.
Kami saling berpelukan. Mengakhiri tahalul dengan bening air di sudut mata. Terlebih bagi satu tim yang mengambil Ifrad. Setelah sepekan penuh tak pernah mandi menggunakan sabun. Setelah sepekan penuh mengenakan Ihram. “Ya, allah. Terimalah haji kami,” bisikan doa teman saya.
Jujur, tak ada tersbersit sedikitpun jika setelah ini ingin dipanggil pak haji. Tidak ada. Karunia Allah terlalu besar, jika hanya dibandingkan predikat. Kalau boleh meminta, janganlah saya dipanggil haji, kecuali jika memang itu doa.
Kami menyempatkan beristirahat. Merangkul kaki. Menikmati satu real teh susu di depan masjid. Ibarat perang, kami baru saja melakukannya. Mendaki bukit, mengalahkan ego, membakar kesombongan, dan menjunjung ketauhidan.
Tapi, kami bukanlah pejuang yang hebat. Kami juga bukan pendoa yang baik. Kami hanya sosok lemah yang mengharapkan keridhoan akan semua ibadah ini. Jangan jadikan ini sia-sia.
Sepulang dari tahalul kami kembali ke maktab. Sambil menysukuri karunia luar biasa ini, dan tak putus memanjatkan doa agar siapa pun sahabat dan kerabat yang ingin ke sini (Mekah) agar dimudahkan. Semudah kami menjalaninya saat ini. Labbaik allahumma labbaik.
#Semoga pandemi segera berlalu.
Bekasi 18/7/2021
Penulis : H. Chotim Wibowo (wartawan Senior)